Bangunan Bersejarah

Menyusuri Jejak Hoogere Kweekschool, Cikal Bakal Pendidikan Guru di Magelang

Bangunan yang usianya lebih dari satu abad itu masih berdiri kokoh di pusat kota Magelang. Meski warna putihnya telah memudar, nuansa kolonial Belanda masih beg

Hollandsch Inlandsche Kweekschool Magelang 1855 (Sumber: Koninklijk Instituut voor Taal -KITV Leiden)

apahabar.com, MAGELANG - Bangunan yang usianya lebih dari satu abad itu masih berdiri kokoh di pusat kota Magelang. Meski warna putihnya telah memudar, nuansa kolonial Belanda masih begitu terasa di setiap sudutnya.

Tak banyak yang tahu, Gedung yang kini difungsikan sebagai Kantor Dinas Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Magelang itu dulunya adalah Hollandsch Inlandsche Kweekschool atau sekolah untuk pendidikan calon guru bentukan Belanda.

Awal Mula 

Pada kisaran 1850-an, Hoogere Kweekschool di Magelang didirikan untuk memenuhi kekurangan guru yang dapat menggunakan bahasa Belanda di Hindia Belanda.

"Berdirinya Hoogere Kweekschool di Magelang sebagai wujud adanya perhatian dari pemerintah terhadap pendidikan di wilayah Magelang yang dikenal sebagai daerah yang strategis," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Warto kepada apahabar.com, Selasa (2/5).

Baca Juga: Jejak Langgar Merdeka, Pernah Jadi Toko Ganja Hingga di Bom Belanda

Menurut dia, pendirian sekolah tersebut tidak bisa dipisahkan dari adanya gedung sekolah, guru, murid, kurikulum dan media pembelajaran sebagai pendukung berjalannya proses belajar mengajar.

"Sebelum di Magelang, sekolah pendidikan guru negeri pertama di Nusantara didirikan pada 1852 di Surakarta didasarkan atas keputusan pemerintah 30 Agustus 1851," katanya.

Kweekschoolvoor Magelang kini Disdukcapil Kabupaten (Foto: apahabar.com/Arimbihp)

Namun, lanjut dia, sekolah guru di Surakarta tersebut hanya diperuntukkan kalangan priyayi Jawa dengan menggunakan bahasa pengantar Jawa dan Melayu.

"Lalu, Hoogere Kweekschool dipindah dari Surakarta ke Magelang pada 1875 lalu menyusul didirikannya sekolah sejenis," tuturnya.

Adapun pembangunan sekolah pendidikan guru yang serupa dengan Hoogere Kweekschool Magelang yakni Bukittinggi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru, tapanuli pada 1864, yang kemudian ditutup pada 1874, Tondano pada 1873, Ambon pada 1874, Probolinggo pada 1875, Banjarmasin pada 1875, Makassar pada 1876, dan Padang Sidempuan pada 1879.

Warto menuturkan, bahasa Belanda mulai diajarkan pada 1865, dan pada 1871  dan menjadi mata pelajaran wajib. Pada dasawarsa kedua abad ke-20, bahasa Belanda bukan lagi hanya bahasa wajib melainkan menjadi bahasa pengantar. 

Menurut Warto, Hoogere Kweekschool mengalami berbagai perombakan lantaran adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan. Bahkan, beberapa sekolah ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara.

Bekas lorong kelas Hoogere Kweekschool (Foto: apahabar.com/Arimbihp)

"Hoogere Kweekschool di Magelang tutup pada 1875, Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin (1893), dan Makassar (1895)," ujarnya.

Hoogere Kweekschool Pemantik Cikal Bakal Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), Kini Dikenal dengan PGRI

Selain terus berubahnya kebijakan, eksistensi Hoogere Kweekschool menurun lantaran jabatan guru kurang diminati pada awal abad ke-20.

Terlebih, menurut Wanto, berdasarkan desertasi dari Leiden berjudul "The Breanch in Dike: Regime Change and standarisation primary school," pada masa itu, struktur sosial kolonial didasarkan pada perbedaan ras.

"Masyarakat Eropa (Belanda) menempati urutan paling atas, sementara pribumi menempati urutan yang paling bawah," paparnya.

Baca Juga: Menyusuri Jejak Sejarah GPIB Beth El Magelang Usianya Lebih dari 2 Abad

Konflik antara guru pribumi dan Eropa semakin meruncing lantaran adanya perbedaan gaji. Konflik tersebut juga merembet di antara guru pribumi saat itu.

Sejak tahun 1878, lulusan Hoogere Kweekschool menerima gaji di atas f 75 (f=gulden) sampai f 150 per bulan. Sedangkan Guru-guru bantu Sekolah Kelas Dua mendapat gaji sekitar f 20,- sampai f 30 per bulan.

"Jika disesuaikan dengan kenaikkan harga barang kebutuhan hidup, gaji tersebut dinilai tidak mencukupi," ujar Guru Besar FIB UNS ini.

Menurut Warto, perbedaan gaji dari masing-masing lulusan sekolah yang ada pada waktu itu, membuat guru-guru bumiputera berusaha untuk memperjuangkan nasibnya.

"Hingga 1911 sosok Dwidjosewojo yang waktu itu adalah anggota Pengurus Besar Budi Utomo mulai memikirkan wadah perjuangan para guru dengan membentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB)," tuturnya.

Sebagai informasi, PGHB terdiri dari Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah mendapatkan badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 18 Desember 1912.

Baca Juga: Gedung Eks Rumah Dinas Residen Kedu, Saksi Bisu Penangkapan Diponegoro

"Konggres PGHB dipelopori dan diselenggarakan pertamakalinya di Magelang pada 12 Februari 1912 sekaligus membentuk kepengurusannya," katanya.

Sama seperti Hollandsch Inlandsche Kweekschool, PGHB terus mengalami pasang surut dengan berbagai perubahan kebijakan.

Nama Hindia Belanda pun juga dihapus dan diubah menjadi Indonesia sehingga PGHB berganti menjadi Persatuan Guru Indonesia.

Hingga seratus hari setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tepatnya 23-25 November 1945 berlangsung Kongres Guru Indonesia di Surakarta.

Baca Juga: Seulas Cerita Water Toren, dari Wabah Hingga Jadi Sumber Air Kota Magelang

Kongres berlangsung di Gedung  Somaharsana (Pasar Pon), Van Deventer School, Sekolah Guru Puteri (eks SMP Negeri 3 Surakarta).

Melalui kongres Guru Indonesia, segala perbedaan antara organisasi guru yang didasarkan perbedaan tamatan di lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, aliran politik, agama, dan suku sepakat dihapuskan.