Bangunan Bersejarah

Masjid Laweyan Solo, Dibangun dari Bekas Bangunan Pura

Sebuah bangunan masjid berwarna hijau yang berada di Jalan Liris No. 1 Belukan, Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo ini dulunya adalah sebuah bangunan pura.

Tampak depan bangunan Masjid Laweyan yang masih mempertahankan keasliannya. Foto : apahabar.com/Fernando

apahabar.com, SOLO - Masjid Laweyan yang berada di Jalan Liris No. 1 Belukan, Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo adalah masjid tertua di kota ini. Menariknya, masjid seluas 580 meter ini sebelumnya adalah bangunan pura.

Menurut penuturan Muhammad Nugroho, Humas Masjid Laweyan, masjid ini didirikan pada tahun 1546.

Berdirinya masjid ini tidak terlepas dari persahabatan antara Ki Ageng Henis dengan Ki Ageng Beluk. Keduanya merupakan tokoh agama berpengaruh di zamannya. Khususnya di kawasan Laweyan, Solo.

Ki Ageng Henis merupakan seorang tokoh ulama di Laweyan yang berperan penting saat menyebarkan agama Islam di Kota Solo. Sedangkan Ki Ageng Beluk merupakan pemuka agama hindu di Laweyan

Bangunan Masjid Laweyan yang memiliki ciri khas anak tangga yang tinggi bekas pura di bagian pintu masuk gerbang utama masjid. (Foto: apahabar.com/Fernando)

Zaman itu, Ki Ageng Henis melakukan dakwah di kawasan Laweyan menggunakan cara Sunan Kalijaga. Salah satu sunan Walisanga yang identik menggunakan blangkon tersebut melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Ki Ageng Henis mengadopsinya untuk masyarakat Laweyan, Solo.

"Cara yang dimaksud adalah dengan damai, tentram, dan tidak menggurui umat beragama sebelumnya," ujarnya.

Cara dakwah yang digunakan Ki Ageng Henis dengan tidak menghardik agama dan budaya sebelumnya, membuat Ki Ageng Beluk terpikat dengan sosok Ki Ageng Henis. Keduanya kemudian menjadi sahabat sebagai sesama tokoh agama di Laweyan, Solo.

Persahabatan keduanya berlangsung manis. Ki Ageng Beluk kemudian menghibahkan salah satu pura di kawasan Laweyan untuk Ki Ageng Henis. Pura tersebut, dulunya adalah sanggar yang dipakai oleh umat Hindu.

Saat prosesi hibah Pura tersebut tidak ada penolakan dari umat Hindu di Laweyan. Bahkan, sebagian besar dari mereka menyetujui prosesi hibah tersebut.

"Jadi tidak ada gejolak sama sekali. Bahkan berdasarkan buku dan cerita sejarah yang disampaikan. Memang tidak ada penolakan sama sekali bahkan masyarakat saat itu mendukung," ungkapnya.

Pura tersebut kemudian dimanfaatkan Ki Ageng Henis menjadi langgar. Di tempat itulah syiar Islam diperluas Ki Ageng Henis dengan sejumlah kegiatan seperti salat berjamaah, mengaji, dan berdakwah

"Kemudian pada tahun 1800 sekian berubah menjadi masjid," imbuh Nugroho.

Tangga menuju serambi utama Masjid Laweyan yang merupakan bekas pura. (Foto: apahabar.com/Fernando)

Dari segi bangunan, yang masih nampak menyisakan arsitektur pura adalah bagian tujuh anak tangga di pintu masuk utama masjid. Tak hanya itu, tiang hingga atap yang model bertingkat tiga masih bertahan hingga detik ini.

"Memang dari segi bangunan, setiap pura memiliki tangga. Jadi kalau dilihat di depan, kita lihat bangunannya pasti bangunan ini bangunan pura. Karena pura dimana-mana ada tapak naik," jelasnya.

Meski sudah berumur ratusan tahun, dari segi bangunan masjid ini masih mempertahankan aslinya. Mulai dari tiang berbahan kayu jati yang masih dipertahankan. Hingga adanya bedug kulit sapi yang juga berumur ratusan tahun.

"Dari segi bangunan, Alhamdulilah, kita rawat dengan baik. Paling ada beberapa sisi yang memang bocor semaksimal mungkin kita benerkan. Untuk mengalami perubahan kita tidak merubah sama sekali bentuk-bentuknya.

Jamaah Masjid Laweyan saat Salat Dzuhur. (Foto: apahabar.com/Fernando)

Sejumlah penambahan yang dilakukan di antaranya seperti jendela dan ubin baru yang dikerjakan oleh remaja masjid dan juga ubin yang baru.

"Karena ditumpuk, ubin aslinya masih di bawah. Ini catnya juga masih mempertahankan warna hijau. Warna yang disukai Rasulullah," tutupnya.