Skandal Pejabat Pajak

KPK Berhasil Lacak Dua Perusahaan Konsultan Pajak Pejabat Kemenkeu

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menemukan dua dari 280 perusahaan konsultan pajak yang diduga memiliki keterkaitan kepemilikan dengan

Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan saat diwawancarai wartawan. Foto: apahabar.com/Ariyan Rastya

apahabar.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menemukan dua dari 280 perusahaan konsultan pajak yang diduga memiliki keterkaitan kepemilikan dengan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu. 

“Yang kita cari yang konsultan pajak, karena itu yang pasti berkaitan. Itu yang kita cari. Mungkin udah ada 2,” ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, Kamis (9/3).

Baca Juga: Transaksi 300 T di Kemenkeu, DPR : Yang Lebih Besar Berpotensi Terkuak

Ia menerangkan bahwa kedua perusahaan yang berhasil dilacak KPK bukan merupakan milik Rafael Alun Trisambodo, namun ia membuka peluang perusahaan tersebut milik salah satu pejabat pajak.

Pahala menyebut total 280 perusahaan dimiliki sahamnya oleh sekitar 134 pejabat Ditjen Pajak tergolong bukan saham terbuka, tetapi merupakan saham tertutup. 

Kendati demikian ia juga mengungkapkan saham yang mudah ditelusuri karena memiliki sifat bebas untuk ditujukan untuk masyarakat umum.

“Bukan bukan, bukan perusaahaan di bursa. Kalau di bursa kita nggak pusing. Itu kan bebas, investasi,” tambah Pahala.

Baca Juga: DPR Desak Kemenkeu Tegakkan Integritas, 'Bersih-Bersih' Pejabat Nakal

Menurutnya, hal yang memusingkan yakni pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu menanam saham di perusahaan tertutup atau non-listing.

“Semua nah ini yang tertutup non-listing. Semua tertutup yang 280 (perusahaan) itu, kalau yang terbuka sih lebih banyak dari itu. Bebas kan mereka boleh dong, nah ini mereka yang tertutup yang punya sendiri. Dan dia di situ sebagai pemegang saham,” jelasnya.

Sebelumnya, KPK mendeteksi adanya 134 pegawai pajak yang memiliki saham di 280 perusahaan. Menurut Pahala, hal tersebut bukannya tidak diperbolehkan tapi hanya tidak etis karena ditakutkan terjadinya konflik kepentingan.

Baca Juga: Laporan Mencurigakan Rp300 T di Kemenkeu, Pakar: Terbiasa Menimbun Kejahatan

“Boleh, tapi, bukannya nggak boleh, tidak etis. Kalau di Pajak Penghasilan (PP) kan bilang tidak etis,” tandasnya.

Lebih lanjut, Pahala menyinggung soal PP tahun 1980an yang meyebutkan bahwa pegawai pajak dilarang berbisnis.

“Tidak etis, jadi harusnya yaa. Waktu PP tahun 80 dilarang berbisnis. Nah tapi PP berikutnya ga jelas ngaturnya. Hanya bilang agar memilih kegiatan yang etis, ya etisnya apa gajelas,” pungkasnya.