Kejagung Hentikan Penuntutan Dua Perkara di Kalsel Lewat Keadilan Restoratif

Penghentian dilakukan setelah jaksa menemukan kejanggalan dalam berkas perkara, khususnya pada hasil pemeriksaan urine yang dinilai tak sesuai prosedur.

Ekspose penghentian penuntutan yang dilaksanakan Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan. Foto: istimewa

bakabar.com, BANJARBARU – Kejaksaan Agung Republik Indonesia menghentikan penuntutan dua perkara pidana di Kalimantan Selatan melalui mekanisme restorative justice (keadilan restoratif).

Salah satu perkara yang dihentikan adalah kasus narkotika jenis sabu yang ditangani Kejaksaan Negeri Kabupaten Banjar. Persetujuan penghentian diberikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melalui Direktorat A usai ekspose yang digelar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalsel pada Selasa (11/11/2025).

Penghentian penuntutan dilakukan setelah jaksa peneliti menemukan kejanggalan dalam berkas perkara, terutama terkait hasil pemeriksaan urine tersangka yang dinilai tidak sesuai prosedur hukum.

Perkara tersebut menjerat pria berinisial AN, warga Kabupaten Banjar, yang ditangkap anggota Polsek Kertak Hanyar pada 24 Juni 2025 saat membawa tiga paket sabu seberat 0,2035 gram. Barang bukti itu diketahui digunakan bersama dua rekannya yang kini masih buron.

Awalnya, penyidik menjerat AN dengan Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun setelah diperiksa, jaksa menemukan bahwa tes urine tersangka baru dilakukan empat bulan setelah penangkapan, yakni pada 22 Oktober 2025.

Berdasarkan hasil laboratorium Rumah Sakit Bhayangkara Banjarmasin, urine AN dinyatakan negatif narkotika golongan I, sementara dalam berkas penyidik, AN dijerat sebagai penyalahguna narkotika.

“Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian prosedur serta kelalaian penyidik dalam menentukan apakah tersangka merupakan penyalahguna atau bukan. Pemeriksaan urine seharusnya dilakukan segera setelah penangkapan agar hasilnya valid dan menggambarkan kondisi aktual tersangka,” ujar Kasi Penkum Kejati Kalsel, Yuni Priyono, dalam siaran persnya.

Kejaksaan menilai hasil tes urine tersebut dilampirkan hanya sebagai formalitas agar berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21). Akibatnya, proses penyidikan dinilai tidak sesuai dengan asas due process of law yang melindungi hak tersangka.

Hasil asesmen terpadu kemudian menyimpulkan bahwa AN adalah korban penyalahgunaan narkotika yang menggunakan sabu untuk menahan kantuk saat bekerja sebagai wakar. Ia direkomendasikan menjalani rehabilitasi rawat inap selama tiga bulan di RSJ Sambang Lihum serta sanksi sosial membersihkan fasilitas umum di Desa Kertak Hanyar II selama tiga bulan.

“Telah ada surat keputusan Kepala Desa Kertak Hanyar II mengenai penjatuhan sanksi sosial kepada tersangka untuk melaksanakan kegiatan kerja sosial membersihkan fasilitas umum setiap hari selama tiga bulan, disertai surat pernyataan kesediaan dari tersangka,” jelas Priyono.

Selain itu, pertimbangan penghentian juga didasari oleh fakta bahwa AN belum pernah dihukum, mendapat dukungan dari keluarga dan tokoh masyarakat, serta bersedia menjalani rehabilitasi dan sanksi sosial.

Selain kasus AN, Kejaksaan Agung juga menghentikan penuntutan perkara percobaan pencurian sepeda motor yang ditangani Kejaksaan Negeri Kotabaru dengan tersangka berinisial S. Ia disangka melanggar Pasal 362 juncto Pasal 53 ayat (1) KUHP.

Kasus ini bermula ketika tersangka mencoba membawa kabur sepeda motor yang terparkir di depan toko PT Andalusia di Jalan Raya Stagen, Kabupaten Kotabaru. Aksi tersebut digagalkan warga setelah korban mengetahui kejadian itu.

Jaksa menghentikan perkara ini karena memenuhi syarat keadilan restoratif, yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, telah berdamai dengan korban, tidak menimbulkan kerugian materiil, serta mendapat respons positif dari masyarakat sekitar.

“Melalui dua perkara ini, Kejaksaan menegaskan bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan upaya menyeimbangkan kepastian hukum dan kemanfaatan, dengan mengutamakan pemulihan bagi pelaku dan korban, bukan semata-mata penghukuman,” pungkas Priyono.