Kalsel

Dari Kasus “Aku Korban Pemerkosaan” di Kalsel, Aktivis Singgung Fenomena No Viral No Justice

apahabar.com, BANJARMASIN – Kasus mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang diperkosa oknum aparat di Kalsel terus…

Featured-Image
Salah satu unggahan mahasiswi korban pemerkosaan oknum aparat di Kalsel. Foto-Tangkapan Layar

bakabar.com, BANJARMASIN – Kasus mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) yang diperkosa oknum aparat di Kalsel terus menjadi sorotan.

Baru-baru ini media sosial heboh. Korban pemerkosaan buka suara, karena pelaku dihukum ringan.

"Aku korban pemerkosaan oleh oknum aparat, tapi terdakwa hanya dihukum 2 tahun 6 bulan?" tulis akun berinisial D yang diduga merupakan korban pemerkosaan dimaksud.

Dalam postingannya, D yang merupakan mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengaku kehilangan masa depan dan seakan tak punya lagi tujuan hidup.

Aktivis dari Narasi Perempuan, Rizki Angga Rini Santika Febriani, mengapresiasi langkah korban yang berani bicara kepada publik.

"Menceritakan kembali hal yang traumatis itu tidak mudah," ucapnya kepada bakabar.com, Senin (24/1).

Ini sekaligus menjadi tamparan keras bahwa kasus kekerasan seksual belum tuntas di Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin. Terlebih, kata dia, pelaku merupakan bagian penegak hukum.

Menurut Kiki, sapaan akrabnya, kasus D yang ramai di media sosial seolah menjadi bukti bahwa sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual tidak dengan mudah didapatkan melalui proses hukum.

Melihat cerita D, dia menilai hukuman dua setengah tahun yang dijatuhkan kepada BT berpangkat Bripka dari Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polresta Banjarmasin tak setimpal dengan apa yang ia alami. Apalagi, pelaku malah diketahui sedang mempersiapkan upaya banding.

"Ada kemungkinan berarti jika pengajuan keberatan yang dilakukan oleh pelaku diterima hukuman yang didapatkan pelaku menjadi lebih ringan," ujarnya.

Padahal, lanjut Kiki, jika dilihat dari kronologinya, kasus ini bukan hanya pemerkosaan saja, melainkan juga ada relasi kuasa.

"Ada ancaman untuk meminum atau mobil tidak jalan, ada bujuk rayu dan usaha memberikan uang agar penyintas mencabut laporan bahkan janji untuk menikahi penyintas," bebernya.

Lebih lanjut, dirinya melihat saat ini fenomena “No Viral No Justice” juga marak di berbagai daerah. Ada keyakinan bahwa keadilan hanya didapatkan penyintas jika kasusnya viral.

Harusnya, kata dia, ini menjadi kritik bagi penegak hukum. "Kok bisa prosedur penegakan hukum tidak memberikan keadilan sampai kasusnya menunggu viral terlebih dahulu?," pungkasnya.

Terpisah, Dekan Fakultas Hukum ULM Prof Abdul Halim Barkatullah mengaku baru tahu kasus yang menimpa mahasiswinya pada Minggu (24/1) malam.

"Kami baru tau juga tadi malam," katanya lewat pesan singkat Whatsapp, Senin (25/1).

Namun, pihaknya memastikan tak akan tinggal diam. FH ULM sudah membentuk Tim Penanganan dan Advokasi.

"Kami masih memperdalam juga kasus ini," tutupnya.

Informasi dihimpun bakabar.com, sejumlah pihak yang turut digawangi salah seorang aktivis Narasi Perempuan juga ingin mengajukan banding ke Kejaksaksaan terkait kasus ini.



Komentar
Banner
Banner