bakabar.com, BANJARMASIN – Di bawah kepemimpinan Abdul Wahid, Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) menyabet enam kali opini wajar tanpa pengecualian (WTP).
Kini predikat tersebut kian dipertanyakan seiring penangkapan Wahid. Terlebih, satu per satu pejabat publik di pemerintahan Wahid terus diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ihwal kasus suap proyek irigasi.
Opini WTP merupakan penilaian yang biasa diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penghargaan ini mengacu pada kriteria laporan keuangan instansi pemerintahan atau BUMN yang disajikan secara wajar sesuai dengan SAP (standar akuntansi pemerintahan).
Kondisi seperti ini, Direktur Utama Advokat Borneo Law Firm, M Pazri mengendus kejanggalan.
"Apakah ketika OTT KPK dan melakukan penahan kepada Bupati HSU, akhirnya juga ada dugaan "Mitos Jual Beli WTP di BPK" terulang lagi?" singgungnya dihubungi bakabar.com, Minggu (21/11) malam.
Kilas balik, kasus seperti ini pernah terjadi pada 26 Mei 2017 silam. Saat itu dua orang auditor BPK terjerat kasus pemberian opini BPK atas laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
"Memang jual beli predikat WTP di BPK sering disebut-sebut sudah menjadi mitos dan terus terulang adanya dugaan para oknum di sana," ujarnya.
Seiring dengan banyaknya laporan yang masuk ke telinganya, Pazri bilang jual beli predikat WTP ini buka mitos lagi.
Celahnya, sejak ada mekanisme dalam pemeriksaan keuangan negara dan itu diberikan opini, misalnya.
"Sejak itu juga ditengarai banyak cerita mengatakan bahwa opini itu bisa dipesan," tuturnya.
Mungkin saja, kata dia, ada oknum auditor dari BPK yang bisa dibeli demi mengeluarkan opini sesuai keinginan kepala daerah tertentu.
Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Pazri merasa janggal bila sebuah pemerintahan berhasil mendapat WTP, namun kepala daerahnya malah terjerat kasus korupsi.
"Karenanya WTP tak menjamin kepala daerah telah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan benar," ujarnya.
Dengan kejanggalan ini, menurut Pazri mestinya KPK harus mengusut dan mengungkap mitos tersebut.
Sebagai lembaga antirasuah yang kredibel, KPK harus berani memeriksa siapapun yang diduga turut terlibat sampai pemberian WTP itu tanpa ada diskriminasi.
"Sehingga bisa memberikan rasa keadilan bagi siapapun," kata Pazri.
Oleh sebab itu, menurutnya kasus dugaan korupsi di HSU ini sangat penting dikawal. Mengingat, bukan tak mungkin bakal ada tersangka-tersangka baru.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan, Ipi Maryati Kuding bilang KPK telah memeriksa Ketua DPRD HSU, Almien Ashar Safari.
Pemeriksaan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa. KPK mendalami keterangan Almien soal aliran dana ke Bupati Wahid dari fee proyek di Dinas PUPRP.
Selain Almien, KPK juga menggeledah rumah pribadi Sekretaris Daerah HSU, HM Taufik. Sampai berita ini ditayangkan belum diketahui di mana keberadaan adik Wahid tersebut. Plt Juru Bicara KPK bidang penindakan, Ali Fikri belum merespons konfirmasi media ini.
Sebelumnya, tak hanya Almien yang diperiksa. KPK juga memeriksa sembilan saksi lainnya. Mereka diperiksa di kantor Polres Hulu Sungai Utara.
“Seluruh saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan pelaksanaan berbagai proyek pekerjaan di Dinas PUPRP (Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan) di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang diduga ada aliran sejumlah dana kepada tersangka AW dan pihak terkait lainnya dalam bentuk fee proyek,” kata Ipi, Jumat (19/11.
Sembilan saksi itu di antaranya ajudan Bupati HSU, Muhammad Reza Karimu; sopir Bupati, Syaukani; staf Bina Marga, HM Ridha; mantan Kasubag Protokol Kabupaten HSU, Moch Arifil alias Iping.
Saksi selanjutnya adalah Kabid Bina Marga, Muhammad Rakhmani Nor; staf Bidang Rehabilitasi, Pemeliharaan Pengairan PUPRP HSU, Nofi Yanti; Kabid Cipta Karya, Amos Silitonga; Kabag Pemerintahan Setda Hulu Sungai Utara; Khairussalim dan staf Bina Marga, Doddy Faisal.
Sebelumnya, KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka dalam perkara ini dan langsung dilakukan penahanan.
Abdul Wahid diduga menerima suap dengan total Rp18,9 miliar.
KPK juga telah menetapkan Plt Kadis Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Hulu Sungai Utara, Maliki, sebagai tersangka.
Selain Maliki, KPK menetapkan Marhaini dan Fachriadi sebagai tersangka dari pihak swasta.
Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.
Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.