bakabar.com, BANJARMASIN – Terbongkarnya megaskandal suap dan gratifikasi Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) Abdul Wahid bisa menjadi momentum penting polisi dan jaksa meningkatkan performa mereka.
Pemerhati Hukum Kalimantan Selatan, Muhammad Pazri meminta polisi dan jaksa meningkatkan kinerja mereka sekalipun kewenangan penegakan hukum sudah diatur oleh undang-undang.
“Kalau menurut saya polisi dan jaksa di daerah harus lebih aktif, peka, karena hemat saya mereka padahal lebih tahu dugaan-dugaan praktik korupsi di daerah,” ujar Pazri kepada bakabar.com, Senin (22/11).
Dari ‘turun gunungnya’ KPK, Pazri menilai polisi dan jaksa mesti meningkatkan koordinasi dan konsolidasi mereka dalam pencegahan, dan pemberantasan tindak korupsi di daerah.
“Sinerginya harus ditingkatkan,” ujar Pazri.
Mengutip pendapat Prof. Dr. Soerjono Soekanto, kata Pazri, gangguan terhadap penegakan hukum terjadi apabila ada ketidakserasian antaranilai, kaidah, dan pola perilaku.
Dalam hal ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan dan menjelma dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang akan dapat mengganggu kedamaian pergaulan hidup, maka penegakan hukum menjadi tidaklah dapat diwujudkan.
Artinya, penegakan hukum akan menjadi tidaklah berjalan sebagaimana mestinya atau akan terganggu dalam perjalanan dan penegakan hukumnya.
Masalah pokok penegakan hukum terletak kepada faktor-faktor yang memengaruhinya. Pertama, faktor hukumnya,kedua faktor penegak hukum,ketiga,faktor sarana atau fasilitas,keempatfaktor masyarakat dankelimafaktor kebudayaan.
Bupati Wahid ditangkap KPK karena terseret gratifikasi dalam penunjukan posisi Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum HSU, Maliki. Lewat Maliki-lah, nantinya bupati menerima pembagian fee proyek irigasi. Sejak 2019, KPK menaksir Wahid telah menerima Rp18,9 miliar.
Apakah terlampau sulit bagi kepolisian melidik kasus gratifikasi yang notabene kerugian negaranya terjadi secara tidak langsung?
Pazri melihat memang sulit harus memenuhi dua bukti permulaan yang cukup ketika mau menjerat tersangka.
Karena umumnya, penerimaan gratifikasi dan suap adalah penyelenggara negara yang memiliki jabatan dan wewenang membuat keputusan.
Mengungkapnya pun harus memeriksa saksi-saksi dan mencari bukti-bukti melalui proses yang panjang.
Sebagai gambaran, KPK butuh waktu dua bulan lamanya sejak menangkap Maliki untuk menjerat Wahid. KPK harus bolak-balik BPKP Kalsel, Polres HSU hingga Markas Brimob Tabalong. Hampir ratusan saksi telah diperiksa KPK.
“Tapi kalau di KPK dimudahkan biasa karena ada penyadapan. Polisi dan jaksa harus memaksimalkan ini,” ujarnya.
Bantah Kecolongan
Penangkapan Bupati HSU Abdul Wahid, Polisi-Jaksa Kecolongan?
Kinerja Polda dan Kejaksaan Tinggi Kalsel tengah disorot Anggota Komisi III DPR RI, Pangeran Khairul Saleh.
Pangeran bilang mestinya aparat penegak hukum di Banua yang mengungkap kasus Wahid. Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Moch Rifa’i saat dikonfirmasi menanggapi santai sentilan tersebut.
Ia tak mau ambil pusing. “Kan sudah ditangani KPK,” ujarnya melalui pesan singkat, Senin (22/11).
Rifa’i juga menepis jika Polda Kalsel dikatakan kecolongan ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di HSU.
“Enggak lah,” ujarnya singkat.
Khairul Saleh sempat melontarkan pertanyaannya saat reses ke Kalsel, belum lama tadi. Kenapa sampai KPK yang mengungkap kasus korupsi di HSU?
"Mestinya Kejaksaan dan Polda yang menangkapnya, tapi didahului oleh KPK," ujarnya usai melakukan pertemuan dengan petinggi Polda dan Kejati di Mapolda Kalsel Jumat lalu.
Apa boleh buat, KPK sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus suap proyek itu. Termasuk Bupati HSU Abdul Wahid.
"Kita serahkan-lah dengan KPK," ucap politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Khairul Saleh juga tak lupa mewanti-wanti kepada para pejabat di Banua, khususnya kepala daerah agar tak melakukan korupsi.
Terlebih pengungkapan kasus korupsi oleh lembaga antirasuah di HSU bukan pertama kalinya terjadi di Kalsel.
"Mudah-mudahan itu jadi pembelajaran bagi kepala daerah kita jangan sampai seperti itu," imbuhnya.
Catatan bakabar.com, penangkapan Wahid menambah daftar panjang ‘korban’ operasi senyap KPK di Kalsel.
Sebelumnya, sudah ada tiga bupati di Kalsel yang ditangkap komisi antirasuah. Sebelum Wahid, ada nama Bupati Tanah Laut Adriansyah yang ditangkap KPK di Sanur Bali pada 9 April 2015.
Tiga tahun kemudian, giliran Bupati Hulu Sungai Tengah (HST) Abdul Latif, ditangkap KPK pada awal Januari 2018. Sama seperti Wahid, Latif juga terseret perkara gratifikasi.
Tak hanya kepala daerah, operasi senyap KPK juga menyasar Ketua DPRD Kota Banjarmasin Iwan Rusmali bersama Andi Effendi (Ketua Pansus Perda Penyertaan Modal PDAM Bandarmasih di DPRD Banjarmasin) dan Direktur PDAM Bandarmasih, Muslih bersama koleganya.
“Kasus korupsi semacam ini harus menjadi pelajaran aparat penegak hukum di Kalsel,” ujar Pazri.
Sebelumnya, KPK menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka karena diduga menerima suap dengan total Rp18,9 miliar.
KPK juga telah menetapkan Plt Kadis Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Hulu Sungai Utara, Maliki, sebagai tersangka.
Selain Maliki, KPK menetapkan Marhaini dan Fachriadi sebagai tersangka dari pihak swasta.
Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.
Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.
Ketua KPK, Komjen Pol Firli Bahuri meminta kepala daerah yang telah digaji dari uang rakyat dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel di wilayahnya.
“Bukan sebaliknya, mengingkari amanah jabatannya
untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompoknya melalui praktik-praktik korupsi,” ujarnya saat jumpa pers penangkapan Wahid.
Menurutnya, korupsi pada suatu proyek pembangunan berpotensi menimbulkan degradasi kualitas hasil pengadaan barang dan jasa, sekaligus menghambat upaya pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional.
“Sehingga masyarakat sebagai penerima manfaatnya menjadi pihak yang paling dirugikan,” ujar Firli.
Menakar Peluang Tersangka Baru Setelah Bupati HSU Abdul Wahid