bakabar.com, AMUNTAI – Setelah megaskandal suap proyek miliaran rupiah, Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif Abdul Wahid kini terancam jerat pidana baru.
KPK tengah membidik penerimaan uang Wahid dari para aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemkab HSU. Aliran dana tersebut berkaitan dengan gratifikasi jual beli jabatan.
Setidaknya yang terbaru, sejak Selasa hingga Rabu (23-24/11), puluhan ASN mondar-mandir diperiksa KPK di Markas Polres HSU (data lengkapnya di halaman selanjutnya).
Pada pemeriksaan Selasa, misalnya, KPK memeriksa dua ASN; Kasi Pembangunan dan Peningkatan Pengairan pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan ruang dan Pertanahan Kabupaten HSU, Hairiyah; dan pegawai Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bapelitbang) Ina Wahyudiaty.
“Seluruh saksi hadir dan menerangkan antara lain terkait dengan dugaan penerimaan fee proyek oleh tersangka AW [Abdul Wahid] dan juga adanya penerimaan lain berupa uang dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di Pemkab HSU,” ujar Plt Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri.
Pada pemeriksaan Rabu, jumlah ASN yang menghadap KPK lebih banyak lagi. Dari 11 nama, 8 di antaranya adalah ASN; Handi Rizali (Inspektorat), Muhammad Yusri (BKD), Muhammad Rafiq (Disperindagkop), Jumadi (Satpol PP), Danu Fotohena (Dinas Kesehatan, Dewi Yunianti (Dokter RS Pambalah Batung), dan Dewi Septiani (Kasubag Kepegawaian RSUD Pambalah).
Semua nama tersebut ditelisik KPK lantaran kedekatannya dengan Abdul Wahid. KPK juga menyita sebuah mobil CRV yang dari tangan Almien yang diduga punya Dewi.
Selain memeriksa delapan nama tersebut, KPK turut memeriksa pensiunan ASN Heru Wahyuni. Saat masih aktif, Heru menjabat Plt Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) HSU.
"Seluruh saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan persetujuan tersangka AW (Abdul Wahid) melalui tersangka MK (Maliki) dalam menentukan para kontraktor yang akan mengerjakan berbagai proyek di Kabupaten HSU dengan imbalan pemberian berupa fee proyek," ujar Fikri.
Lantas, apakah nama-nama tersebut berasal dari daftar yang ditemukan KPK di rumah Sekda HSU, HM Taufik? Fikri tak menjawabnya.
Yang pasti, buntut pemeriksaan delapan nama tersebut, KPK langsung melakukan penyitaan sejumlah aset milik Wahid.
Selain mobil Dewi, KPK menyegel tanah dan bangunan di Paliwara, Amuntai Tengah. Bangunan megah yang nantinya klinik kesehatan tersebut disita terkait suap proyek irigasi Banjang dan Kayakah.
Barang bukti sedang dianalisis lebih lanjut untuk kemudian dilakukan penyitaan dengan izin Dewan Pengawas KPK. Berdasar UU KPK terbaru, penyidik tidak bisa begitu saja melakukan penyitaan beda dengan UU lama.
Namun dari banyaknya barang bukti yang disita dan saksi yang dipanggil, KPK tampaknya sudah fokus menelusuri aliran uang hasil fee proyek yang masuk ke Wahid lewat Maliki.
Pada lelang proyek Irigasi Banjang dan Kayakah, sebagai gambaran, Wahid kerap mematok fee hingga 10 persen dari total nilai proyek kepada pihak kontraktor.
“Tim penyidik tentu akan fokus lebih dahulu pada proses penyidikan terkait suap menyuap dalam pengadaan barang dan jasa infrastruktur di Kabupaten HSU,” ungkap Fikri.
Dugaan adanya kongkalikong penunjukan jabatan oleh Wahid terendus dari penangkapan Maliki. Ia disinyalir memberikan sejumlah uang ke Wahid agar dapat menjadi Plt kepala Dinas PUPR HSU.
Ketua KPK Firli Bahuri merinci sejumlah uang yang didapatkan oleh Abdul Wahid lewat perantara Maliki yang ditetapkan sebagai tersangka pada 16 September itu.
Pertama, penerimaan uang ke Wahid dari pihak kontraktor yakni MRH dan FH mencapai Rp 500 juta, melalui Maliki.
Kemudian, pada 2019 senilai Rp4,6 miliar, 2020 sejumlah sekitar Rp12 Miliar dan pada 2021 sebesar Rp1,8 Miliar.
Selama proses penyidikan, KPK sudah mengamankan sejumlah uang tersebut. Namun angka pastinya masih dalam penghitungan. Sebab, sebagian berbentuk mata uang asing.
“Saat ini tim penyidik masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti terkait perkara ini,” pungkas Fikri.
Sebagai pengingat, 18 November, KPK menetapkan Bupati HSU Abdul Wahid sebagai tersangka suap pengadaan barang dan jasa di proyek Irigasi Banjang dan Kayakah.
Penangkapan Wahid berawal dari operasi tangkap tangan tim KPK pada dua bulan sebelumnya atau 15 September 2021 di Amuntai, HSU.
Kala OTT, KPK menangkap Maliki, Pelaksana tugas Kepala dinas Pekerjaan Umum Dinas PUPR Kabupaten Hulu Sungai Utara; Direktur CV Hanamas Marhaini (MRH); dan Direktur CV Kalpataru Fachriadi (FH) di lokasi yang berbeda.
Marhaini dan Fachriadi selaku pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 65 KUHP.
Maliki selaku penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 64 dan Pasal 65 KUHP.
Sementara, Wahid yang diduga menerima suap dan gratifikasi hingga senilai total Rp18,9 miliar disangka Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.
Sampai hari ini, bupati HSU dua periode ini mendekam di rumah tahanan di Gedung Merah Putih KPK hingga 7 Desember mendatang.
WTP HSU Dipertanyakan
Satu Lagi Wanita di Pusaran Bupati HSU Abdul Wahid Diperiksa KPK
Di balik megaskandal suap-gratifikasi Wahid, rupanya Pemkab HSU telah menyandang predikat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Prestasi pengelolaan keuangan negara itu diberikan enam tahun berturut-turut oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Predikat itu mengacu pada kriteria laporan keuangan instansi pemerintahan atau BUMN yang disajikan secara wajar sesuai dengan SAP (standar akuntansi pemerintahan):
Namun setelah tertangkapnya Wahid, Direktur Utama Advokat Borneo Law Firm, M Pazri mengendus kejanggalan terhadap opini tersebut.
"Apakah ketika OTT KPK dan melakukan penahan kepada Bupati HSU, akhirnya juga ada dugaan "Mitos Jual Beli WTP di BPK" terulang lagi?" singgungnya kepada bakabar.com.
Kilas balik, kasus seperti ini pernah terjadi pada 26 Mei 2017 silam. Saat itu dua orang auditor BPK terjerat kasus pemberian opini BPK atas laporan keuangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
"Memang jual beli predikat WTP di BPK sering disebut-sebut sudah menjadi mitos dan terus terulang adanya dugaan para oknum di sana," ujarnya.
Seiring dengan banyaknya laporan yang masuk ke telinganya, Pazri bilang jual beli predikat WTP ini buka mitos lagi.
Celahnya, sejak ada mekanisme dalam pemeriksaan keuangan negara dan itu diberikan opini, misalnya.
"Sejak itu juga ditengarai banyak cerita mengatakan bahwa opini itu bisa dipesan," tuturnya.
Mungkin saja, kata dia, ada oknum auditor dari BPK yang bisa dibeli demi mengeluarkan opini sesuai keinginan kepala daerah tertentu.
Tuduhan ini bukan tanpa alasan. Pazri merasa janggal bila sebuah pemerintahan berhasil mendapat WTP, namun kepala daerahnya malah terjerat kasus korupsi.
"Karenanya WTP tak menjamin kepala daerah telah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan benar," ujarnya.
Dengan kejanggalan ini, menurut Pazri mestinya KPK harus mengusut dan mengungkap mitos tersebut.
Sebagai lembaga antirasuah yang kredibel, KPK harus berani memeriksa siapapun yang diduga turut terlibat sampai pemberian WTP itu tanpa ada diskriminasi.
"Sehingga bisa memberikan rasa keadilan bagi siapapun," kata Pazri.
Oleh sebab itu, menurutnya kasus dugaan korupsi di HSU ini sangat penting dikawal. Mengingat, bukan tak mungkin bakal ada tersangka-tersangka baru. (*)
Daftar lengkap saksi yang sudah diperiksa KPK, yang dua di antaranya meninggal dunia, di halaman selanjutnya: