Kalsel

OTT Amuntai: Menakar Peluang Bui Seumur Hidup Kadis Penerima Suap

apahabar.com, BANJARMASIN – Serangkaian operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara…

Featured-Image
Untuk proses penyidikan, KPK menahan Maliki di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya Guntur. Foto: Antara

bakabar.com, BANJARMASIN – Serangkaian operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) mengejutkan banyak pihak. Terlebih, kasus serupa bukan kali pertama terjadi di Kalimantan Selatan.

Lewat operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (15/9) malam itu KPK mengamankan tujuh orang sekaligus. Di antaranya, Maliki (MK), Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Hulu Sungai Utara (HSU), Marhaini, Direktur CV Hana Mas, dan Fachriadi alias Ahok (FH), Direktur CV Kalpataru.

Kemudian, mantan ajudan bupati HSU, KL pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPK), MB kepala seksi di Dinas PU HSU, dan MJ orang kepercayaan FH dan MH. KPK mengamankan MK setelah membuntuti MJ mengambil uang Rp170 juta dari salah satu bank di Kabupaten HSU.

Saat uang sampai di tangan MK, KPK kemudian mengamankan pria yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran proyek irigasi itu. Dalam penggeledahan, KPK kembali mengamankan uang senilai Rp175 juta.

Uang tersebut diduga KPK adalah commitment fee 15 persen dari proyek daerah rawa irigasi (DIR) Bajang dan Kayakah yang dimenangkan oleh CV milik FH dan MRH.

Sehari setelahnya, KPK menetapkan, MK, FH, dan MRH sebagai tersangka dugaan suap proyek pengadaan barang dan jasa di kedua DIR tersebut.

“Penetapan tersangka setelah kami menemukan bukti permulaan yang cukup,” ujar Komisioner KPK, Alexander Marwata dalam jumpa pers, Kamis (16/9) malam.

Komisioner KPK lainnya, Nurul Ghufron memastikan pengembangan kasus dugaan suap pengadaan proyek barang dan jasa itu masih masuk dalam radar pihaknya.

“Untuk HSU, sedang kami kembangkan, apa saja pengembangan perkara yang dikembangkan, peristiwa korupsi apa saja, nanti setelah kami selesai menemukan bukti-bukti baru pengembangannya maka kami akan ekspose dan kami sampaikan ke media,” janji Ghufron dalam jumpa pers penangkapan Bupati Kolaka di Gedung KPK, Rabu (22/9) malam.

Kasus suap kali Maliki menjadi pintu masuk bagi KPK untuk melakukan penyelidikan mendalam mengetahui keterlibatan pihak-pihak yang berperkara.

“Ketika masuk biasanya banyak ruang-ruang yang bisa dibuka lebih lanjut,” ujarnya.

Lantas, adakah tersangka baru dalam kasus ini mengingat KPK mengamankan sejumlah uang dari serangkaian penggeledahan di rumah hingga kantor kerja Bupati HSU, Abdul Wahid?

Ghufron bilang semuanya masih dalam pengembangan.

“Saat ini karena kami masih sedang bekerja maka belum dapat kami sampaikan,” pungkasnya.

Jubir KPK Ali Fikri bilang bukti-bukti yang ditemukan pihaknya akan diverifikasi lebih dulu guna mengetahui lebih jauh keterkaitannya dengan MK, MRH, dan FH.

“Dan akan segera dilakukan penyitaan untuk melengkapi berkas perkara dimaksud,” ujar Ali dalam keterangan tertulisnya kepada media ini, Rabu sore.

Digeledah KPK, Rumah Bupati HSU Abdul Wahid Jadi Tontonan Warga

Lantas, seberat apa hukuman yang bakal diterima MK, MRH, dan FH?

Ahli Hukum Pidana Korupsi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Mispansyah berpendapat ancaman hukuman MK kemungkinan lebih berat dari MRH dan FH.

KPK menjerat MK dengan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korporasi.

Sedang MRH dan FH dijerat pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 di Undang-Undang yang sama.

Ancaman hukuman pasal 5 ayat 1 yang dikenakan pada MRH dan FH minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun pidana kurungan.

Sedang untuk pasal 12 yang dikenakan pada MK ancaman hukumannya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun pidana kurungan.

“Bahkan pidana seumur hidup,” ujar Mispansyah.

Ancaman hukum MK sudah barang tentu lebih berat selaku orang yang menerima. Terlebih MK merupakan seorang aparatur sipil negara.

Kendati demikian, menurutnya pasal yang dipasang oleh penyidik KPK kurang tepat. Mestinya, jika MRH dan FH selaku pemberi disangkakan pasal 5, MK sebagai penerima semestinya dikenakan pasal yang sama.

“Kalau pemberi dikenakan pasal 5 ayat 1, penerimaan mestinya pasal 5 ayat 2. Karena itu pasangannya secara normatif,” imbuhnya.

Lantas apa yang menjadi alasan penyidik tak menjerat pasal 5 pada MK? Menurut Mispansyah, kemungkinan penyidik menjerat MK dengan pasal 12 bukan pasal 5 berkaitan dengan bentuk dakwaan.

“Apakah bentuknya itu alternatif atau subsideritas yang mana yang lebih utama. Tapi kalau menurut saya yang utama pasal 5 ayat 2 tadi. Karena sebelumnya pasal 5 ayat 1,” jelasnya.

Kasus korupsi dibongkar KPK HSU ini bukan pertama kali di Kalsel. Mundur ke 2017 silam, KPK pernah datang ke Kalsel.

Di antaranya Ketua DPRD Iwan Rusmali dan Dirut PDAM Bandarmasih Muslih ditangkap atas kasus suap Raperda penyertaan modal.

Selanjutnya, 2018 KPK menangkap Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Majid. Kasusnya mampir sama dengan di HSU terkait fee proyek. Saat itu pembangunan Rumah Sakit Damanhuri.

“Saya lihat korupsi ini seperti gurita, sudah mengakar,” kata dosen Fakultas Hukum ULM ini.

Lantas apa penyebab kasus korupsi terus terjadi? Mispansyah menyebabkan ada beberapa faktor. Pertama mental manusia yang buruk. Selalu tidak puas serta pengaruh gaya hidup.

Mental semacam ini semakin merajalela ketika penghormatan yang diberikan masyarakat berdasarkan kekayaan.

“Sikap mental itu menjadi pendorong mental untuk korupsi. Sehingga selalu kurang terus. Apalagi hidup hedonis dan materialistis,” bebernya.

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya prinsip agama yang dimiliki. Jika itu kuat dipastikan mental korup bisa diredam.

“Karena semua agama tentu tak membenarkan tindakan korup,” kata Mispansyah.

Kedua selain mental juga dipengaruhi terjadinya pelemahan sistem hukum dalam hal pemberantasan korupsi.

Ini bisa dilihat banyak kasus-kasus yang diungkap bukan korupsi tentang merugikan keuangan negara. Akan tetapi tentang suap.

“Korupsi yang merugikan keuangan negara sulit dimasuki. Yang diandalkan hanyalah suap. Sehingga hanya dengan OTT bisa ditindak. Karena ada laporan masyarakat,” imbuhnya.

Selesai itu, kendati sistem serta halnya pengadaan barang terus diperbaiki, salah satunya dengan sistem elektronik, celah-celah permainan tentu masih ada. Hal itulah yang dimanfaatkan seseorang untuk bertindak culas.

“Walaupun elektronik ketika formalitas itu dipenuhi, itu kan tidak kemudian bisa menutupi kecurangan oknum oleh para pihak,” jelasnya.

Terakhir, Mispansyah berpesan kepada penyelenggara negara khususnya di Kalsel dalam bekerja tetap berpegang teguh kepada aturan dan tidak melakukan praktik-praktik culas untuk mencari keuntungan sehingga menimbulkan kerugian negara.

“Pejabat tak perlu khawatir. Dalam menjalankan proyek. Selama sesuai aturan di UU korupsi, selama tak melawan hukum tak menimbulkan kerugian negara tetap bisa jalan,” pesanannya. (*)

Dilengkapi oleh Al-Amin

OTT KPK di Amuntai HSU: Kadis PU hingga Eks Ajudan Bupati Diamankan, Modusnya Fee Proyek

Komentar
Banner
Banner