bakabar.com, BANJARMASIN – Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Jalan Sutoyo, Banjarmasin mendadak viral. Video perdebatan salah seorang petugasnya dengan seorang konsumen beredar luas di media sosial sejak Kamis (18/2).
Menariknya, video tersebut mengungkap praktik jual-beli BBM jenis premium dengan meteran yang tak dimulai dari nol. Terungkapnya fakta tersebut mengundang polemik dan cibiran warganet.
“Kan Pertamina terkenal dengan semboyan ‘mulai dari nol’, ini kok enggak sesuai dengan realitas di lapangan ya,” celetuk salah seorang warganet.
Dalam video yang viral itu seorang pengendara perempuan melayangkan protes ke petugas SPBU.
“Peraturan baru ya? enggak bisa dari nol,” ujar pengendara tersebut.
Petugas SPBU itu merespons santai. Ia bilang pengisian BBM dari nol hanya bisa dilakukan dengan syarat menggunakan data pribadi.
Soal data pribadi, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memang menugaskan Pertamina membuat regulasi khusus untuk pembelian BBM bersubsidi, premium atau solar.
Sejak 2020, setiap pengendara diwajibkan menyertakan nomor kendaraan bermotor mereka, beserta nomor handphone ke Electric Data Center (EDC).
Nyatanya meski diterapkan sejak tahun lalu masih saja banyak masyarakat tak tahu.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Kalsel, Ahmad Murjani menganggap polemik yang terjadi di SPBU Sutoyo membuktikan jika pemangku kepentingan kurang sosialisasi.
“Harusnya model-model semacam ini dikuatkan sosialisasinya dulu ke masyarakat,” ujar Murjani kepada bakabar.com, Sabtu (20/2).
Tujuannya jelas, untuk menghindari miskomunikasi. Murjani sendiri belum pernah mendengar sosialisasi tentang itu.
“Saya enggak pernah dengar sosialisasi model begini. Kita enggak tahu apakah ada batasan kendaraan jenis apa yang boleh beli BBM bersubsidi ini, ” imbuhnya.
Akibat kurangnya sosialisasi, banyak masyarakat yang masih menggunakan BBM bersubsidi. Padahal pembeli itu dari kalangan masyarakat yang mampu.
“Kalau tahu ada aturan itu, mungkin ada orang yang sadar dan keluar dari antrean,” jelasnya.
Hiswana Gamang
Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional (Hiswana) Migas membenarkan jika pencatatan nomor kendaraan dan HP tersebut sudah sesuai aturan.
“Tahun 2020 sudah jalan. Karena sekarang sistem digitalisasi. Aturannya dari BPH Migas,” ujar Saibani, Sabtu (20/2).
Peraturan tertuang dalam surat nomor: 1685/Ka BPH/2020 tanggal 28 Juli 2020 hal Instruksi Pencatatan Nomor Polisi untuk Transaksi Pembelian jenis BBM tertentu (JBT), dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP) oleh setiap Pengelola SPBU PT Pertamina (Persero) kepada Direktur Utama PT Pertamina.
“Kami Hiswana Migas, SPBU anggota kami. Dia harus melaksanakan itu. Alasannya pemerintah menghendaki subsidi ini tepat sasaran, bila tidak jelas tidak dilayani,” katanya.
Saibani mengakui penerapan regulasi tersebut memang agak ribet dan makan waktu.
“Tapi itulah kebijakan yang harus kami jalankan, kalau tak mau ribet silakan beli BBM non-subsidi,” ujar Saibani.
Lantas bagaimana dengan aturan meteran pembelian BBM bersubsidi yang tak dari nol?
Saibani tak menjawabnya gamblang. Ia hanya bilang berbicara boleh atau tidak boleh bergantung teknis di lapangan.
“Pembeli banyak yang tak mau ribet. Contoh orang pembeli pertama, di belakang teriak-teriak mau cepat,” imbuhnya.
Saibani tak mau mengatakan itu melanggar aturan. Karena menurutnya pembelian itu sudah sesuai kesepakatan.
“Yang dirugikan sebenarnya orang yang paling awal beli. Yang mestinya beli 10 liter jadi 50 liter. Karena disambung,” katanya.
Pemerintah, menurutnya juga tidak memperhitungkan persoalan demikian di lapangan.
“Hiswana Migas enggak pernah diundang sosialisasi. Mestinya dibuatkan aturan yang lebih simpel,” ujarnya.
Terkait ini, Manajer Komunikasi, Hubungan, dan CSR Pertamina MOR VI Susanto Satria berjanji akan mendalami polemik penghitungan BBM Premium di SPBU Sutoyo S.
“Untuk yang dikeluhkan tentang meteran dari nol, sedang didalami tim di lapangan,” ujar Susanto dihubungi bakabar.com, Jumat (19/2).
Pengamat Kebijakan Publik Kalsel, Muhammad Pazri menilai Pertamina perlu segera menyelidiki dugaan kecurangan di SPBU Sutoyo.
“Audit dalam hal teknologi, ini agar jangan sampai praktik tersebut merugikan konsumen terlalu jauh,” jelas Pazri dihubungi media ini, Sabtu (30/2).
Transparansi pembelian BBM, kata dia, bagian dari hak konsumen. Yang telah dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang, atau jasa.
“Hal tersebut juga yang harus dilakukan oleh SPBU-Pertamina terhadap konsumen BBM,” ujar jebolan magister ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat tersebut.
Lebih jauh, Pazri menilai praktik menyimpang penjualan BBM itu bisa dikenakan pidana sesuai Pasal 8 ayat (1) huruf f UU nomor 8/1999.
“Ketidaksesuaian dugaan spesifikasi barang yang diterima merupakan bentuk pelanggaran bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang,” ujarnya.
SesuaiPasal 4 huruf h UU 8/1999, konsumen berhakmendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantianapabila barang yang diterimatidak sesuai dengan perjanjianatau tidak sebagaimana mestinya.
“Sedangkan pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU 8/1999 berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi atau penggantian apabila barang tidak sesuai,” ujar Direktur Borneo Law Firm tersebut. Jika tidak, bisa saja ancaman hukuman penjara 5 tahun, atau denda Rp2 miliar menanti.