Kalsel

Walhi Geram, Lubang Eks Tambang di Kalsel Makan Korban Jiwa Lagi

apahabar.com, BANJARBARU – Lubang eks tambang batu bara di Kalimantan Selatan kembali memakan korban jiwa. Kali…

Featured-Image
Lubang tambang yang ditinggalkan menganga hingga menjadi danau dan menyatu dengan aliran sungai itu, kuat dugaan adalah milik anak Perusahaan Daerah (PD) Baramarta. Foto-apahabar.com/Fauzi Fadillah

bakabar.com, BANJARBARU – Lubang eks tambang batu bara di Kalimantan Selatan kembali memakan korban jiwa. Kali ini adalah Kasyful Anwar.

Pria 40 tahun itu tewas di sebuah lubang yang dibiarkan menganga begitu saja di Desa Pakutik, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Jumat (12/6).

Jasad si pemancing itu baru ditemukan mengapung ke permukaan dua hari kemudian atau Minggu (14/2).

Lubang tempat di mana warga Pakutik tewas itu berada di perbatasan dengan Desa Rantau Nangka, kabupaten tetangga.

Dari pemeriksaan Walhi Kalsel, organisasi pemerhati lingkungan hidup, rupanya korban tewas tenggelam di konsesi milik PD Baramarta.

Baramarta ialah perusahaan daerah milik Kabupaten Banjar, pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) berstatus operasi produksi.

“Kami telusuri berdasar peta izin tambang di wilayah Kalsel,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyono dalam keterangan tertulisnya, Senin (15/6).

Dari peta citra satelit Google Earth tahun 2018, Walhi menemukan genangan air asam tambang seluas 20 hektare dari lubang dengan panjang 963 meter dan keliling 2.243 meter.

“Terpantau pada citra lubang tambang ini memang sudah ditinggalkan tanpa ditutup,” tuturnya.

Baramarta, kata Kisworo, masih terlihat beroperasi di wilayah itu pada 2009 sampai beberapa tahun berikutnya.

Saat itu luas lahan terbuka milik Baramarta seluas 104 hektare dan genangan air asam tambang seluas 5,25 hektare di lubang sepanjang 688 meter.

“Di 2012 terlihat sudah dilakukan reklamasi pada bukaan tambang, namun tidak pada lubang tambang. Lubang tambang masih saja menganga,” jelasnya.

Masih dari penelusuran Walhi, lubang tambang Baramarta berhimpitan dengan sungai bahkan menyatu di beberapa sisinya.

“Hal ini juga jelas bertentangan dengan regulasi yang mengatur perlindungan sempadan sungai. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai,” jelasnya.

Diketahui PP dimaksud mengatur tentang sempadan sungai paling sedikit 50 meter kiri dan kanan sungai untuk sungai kecil dan sampai 500 meter untuk sungai besar.

“Sempadan sungai yang fungsinya untuk konservasi tidak seharusnya juga ditambang,” kata pria berambut panjang ini.

Menurut PP nomor 78/2010 tentang Reklamasi Pasca-Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.

“Namun, adanya kubangan air asam tambang sepanjang hampir satu kilometer di konsesi Baramarta ini menunjukkan bahwa tindakan reklamasi tidak dilakukan sepenuhnya sehingga memakan korban,” ujarnya.

Walhi, kata Kisworo, menuntut Baramarta untuk bertanggung jawab atas korban yang mati tenggelam dan menutup lubang tambang miliknya.

“Pemerintah daerah kabupaten Banjar harus mengutamakan keselamatan rakyat dengan mematuhi peraturan yang berlaku,” ujarnya.

Baramarta, sebut Kisworo, yang diberitakan selalu memperoleh proper biru ternyata memiliki lubang bekas tambang yang mematikan.

“Ini merupakan indikasi bahwa kriteria dalam pemberian penghargaan itu berbeda dengan kondisi di lapangan. Walhi Kalsel juga menuntut Kementerian ESDM untuk mencabut status proper biru pada PD Baramarta. Pemberian penghargaan seperti itu nyatanya tidak berguna ketika ada korban mati tenggelam di lubang tambang Baramarta,” jelas dia.

Selain memakan korban jiwa, lubang tambang yang mengandung air asam tambang (AAT) dianggap membahayakan kehidupan.

AAT, kata Kisworo, yang mengandung logam berat berbahaya jika dilepas ke sungai akan mencemari ekosistem sungai yang pada akhirnya juga berdampak buruk bagi manusia terutama bagi anak dan kesehatan reproduksi perempuan.

“Ada banyak kasus anak lahir cacat akibat ibunya bersentuhan dengan air tercemar logam berat,” tutur Kisworo.

Peristiwa seperti ini—mati di lubang tambang dan pencemaran air—bisa terjadi lagi mengingat di Kalsel masih banyak lubang dan izin tambang.

“Izin-izin itu berada di dekat permukiman dan fasilitas umum yang membuat jarak aktivitas warga makin dekat dengan lubang tambang mematikan ini,” jelas Kisworo.

Di Kalsel, menurut Walhi ada 814 lubang tambang yang tersebar di delapan kabupaten. Kabupaten Banjar memiliki 117 lubang tambang sehingga menjadi urutan ketiga terbanyak setelah tanah bumbu (264 lubang) dan tanah laut (223 lubang).

“Lubang-lubang itu ada di dalam dan di luar konsesi.”

Terhitung ada 638 lubang berada di 123 konsesi. Artinya ada 176 lubang di luar konsesi yang diduga adalah pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin (PETI).

Selain regulasi reklamasi yang tidak dipatuhi dan siasat perusahaan yang tak membayar jaminan reklamasi, ada berjejer peraturan yang sering dilanggar oleh perusahaan tambang.

Satu di antaranya ialah Undang-Undang (UU) nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup.

“UU yang harusnya menjadi pedoman untuk dipatuhi malah dilanggar,” ujarnya,

Walhi menganggap analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) hanya menjadi dokumen formal untuk melegitimasi eksploitasi.

“Sudah seharusnya aktivitas pertambangan yang bersifat ekstraktif dan berisiko tinggi bagi keselamatan rakyat ini dihentikan,” jelas dia.

Selain pengrusakan bentang alam, tambang batu bara juga dicap merusak bentang politik. Mudahnya izin dikeluarkan berpotensi menimbulkan tumpang tindih perizinan dan korupsi pejabat negara.

“Sayangnya pemerintah tidak berkaca dari banyak kasus kematian di lubang tambang yang terjadi di berbagai tempat dan pengrusakan lingkungan hidup yang masif akibat pertambangan,” jelas Kis.

Pemerintah, kata dia, justru memberikan karpet merah bagi pengusaha tambang melalui UU Minerba baru yang disahkan pada 12 Mei 2020 lalu.

“Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat, malah merestui korban tambang berjatuhan dengan mengesahkan UU yang sama sekali tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan melucuti hak-hak rakyat,” ketusnya.

Walhi Kalsel mengajak masyarakat untuk terus mendorong pemerintah agar menghentikan industri kotor pertambangan mineral dan batu bara. Salah satunya dengan menolak regulasi yang hanya berpihak pada investasi namun mengabaikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup seperti UU Minerba ini.

“Kami mendesak pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pemegang izin tambang yang satu-per satu membunuh rakyat melalui lubang mautnya. Kami juga mendesak gubernur dan kapolda Kalsel membentuk satuan tugas kejahatan tambang, lalu segera melakukan audit perizinan tambang agar tidak ada lagi korban," tegasnya.

Sementara, sampai berita ini diturunkan bakabar.com masih berupaya mengonfirmasi PD Baramarta.

Soal kepemilikan izin pertambangan di Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, Kepala Dinas ESDM Kalsel, Isharwanto membenarkan di wilayah itu hanya ada aktifitas PD Baramarta.

"Kalau pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) bisa kita tegur, tapi kalau memiliki PKP2B itu kewenangan Jakarta (pusat)," ujar Isharwanto, menjawab siapa yang harus bertanggung jawab menutup lubang tambang di sana.

Isharwanto bilang apabila itu adalah milik IUP terbitan dari kabupaten dan diserahkan ke provinsi, maka Dinas ESDM Kalsel yang bertanggung jawab menindaklanjuti permasalahan pelanggaran itu.

"Tanyakan saja ke Baramarta, itu bukan kewenangan kita, PKP2B kewenangan pemerintah pusat," jawab Kabid Minerba ESDM Kalsel, Gunawan saat dikonfirmasi terpisah via gawainya, Sabtu (13/6).

Selaras dengan Isharwanto, Camat Sungai Pinang, Soeharto juga mengatakan bahwa di wilayah sana hanya ada aktifitas pertambangan PD Baramarta.

"Sekitar 2 bulan lalu sudah tidak ada aktivitas tambang di sini. Lubang itu milik subkontraktor PD Baramarta, yaitu PT. Madhani Talah Tajatah Nusantara," ujar Soeharto di hari yang sama.

Soeharto tidak tahu persis kapan lubang tambang itu dibiarkan menganga. Ia hanya bisa menaksir, "Ya, kira-kira sudah 5 tahun lebih," ujarnya.

"Terisinya air hingga menjadi danau itu karena air hujan hingga akhirnya menyatu dengan aliran sungai. Desa Rantau Nangka dan Pakutik itu berdampingan," imbuhnya.

Soeharto sangat menyayangkan karena tidak adanya reklamasi. Sampai saat ini sebagai camat, ia belum mendengar ada perencanaan reklamasi di sana.

"Setahu saya, apabila habis ditambang itu harusnya direklamasi tapi kenyataannya banyak juga lubang-lubang yang dibiarkan terisi air," katanya.

Soeharto juga merasa lubang-lubang tambang di wilayahnya terkesan dibiarkan hingga menjadi danau kecil.

"Sepengetahuan saya tidak ada plang atau peringatan apapun ketika kami ke lapangan. Ya kesannya, apa adanya begitu," ujar Soeharto.

Dia mengungkapkan bahwa lubang tambang yang merenggut nyawa warganya itu hanya salah satu lubang eks tambang yang belum direklamasi di sana.

Pilu korban lubang bekas tambang bukan lagi hal baru. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat ada 140 orang yang didominasi anak-anak menjadi korban lubang tambang selama 2014-2018.

Lubang bekas tambang yang belum direklamasi memakan korban di 12 provinsi dengan jumlah terbanyak ada di Bangka Belitung dengan 57 orang disusul Kalimantan Timur 32 orang.

Jatam mencatat terdapat 3.033 lubang bekas tambang batu bara yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi atau pemulihan. Sebaran lubang-lubang tambang batu bara, terbanyak di Kalimantan Timur (1.754 lubang), Kalimantan Selatan (814 lubang), dan Sumatera Selatan (163 lubang).

Selain tambang batubara, tambang dengan komoditas lain seperti emas, pasir, dan timah juga telah memakan korban dalam jumlah yang banyak.

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner