bakabar.com, BANJARMASIN – Ekonomi Kalsel diprediksi anjlok bila terus bergantung pada dua sektor tak terbarukan. Yakni, pertambangan batu bara dan perkebunan sawit.
Pemerintah pun diminta memikirkan sektor perekonomian lain di luar industri ekstraktif tersebut.
“Ditinjau dari ekonomi, Kalsel masih berkutat di sektor kelapa sawit, batu bara, karet, dan pertanian,” ucap Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Kalimantan Selatan, Edy Suryadi kepada bakabar.com.
Jika terus bergantung dengan tambang dan sawit, kata dia, maka tak heran jika pertumbuhan ekonomi Banua -sebutan Kalsel- stagnan. Yakni, pada angka 4-5 persen.
“Daerah lain di Indonesia sudah mulai meningkatkan beberapa sektor. Di antaranya industri jadi, pariwisata, Infrastruktur, dan sentral perdagangan,” bebernya.
Pemerintah juga dituntut memikirkan terobosan baru dengan melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah.
Wilayah-wilayah itu, antara lain Poros Utara (Banua Anam), Poros Timur (Tanbu, Tala, Kotabaru), dan Poros Tengah (Banjarmasin, Banjarbaru, Batola, Banjar).
“Dari sini perlu dipikirkan bagaimana membuat investor tertarik. Dengan melihat situasi kondisi setiap daerah yang berbeda,” cetusnya.
Dari situ, sambung dia, diharapkan setiap daerah melakukan manuver aktif untuk menampilkan produk-produk yang berkualitas.
“Sehingga membuat investor tertarik untuk datang dengan sajian yang sangat beda dengan daerah lain,” jelasnya.
Baca Juga:Sistem QR Code Bakal Dominasi Pertumbuhan Ekonomi Kalsel
Kalsel sebagai provinsi tertua dengan luas wilayah paling kecil harus terus berinovasi. Sebagai pintu gerbang Kalimantan, sekaligus daerah penyangga ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur.
“Kerja sama dengan pengusaha di daerah perlu dijadikan sarana mencari solusi tersebut. Selanjutnya, perlu adanya Perda dan Pergub untuk menjaga iklim berusaha di Kalsel,” pungkasnya.
Pemerintah Provinsi Kalsel telah bertekad lepas dari cengkraman batu bara. Disadari, emas hitam bukan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
"Kita akan menggantikan penghasilan di sektor Sumber Daya Alam (SDA) menjadi sektor pariwisata," ucap Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi (Sekdaprov) Kalsel, Abdul Haris Makkie di sela launching calender of event, Jumat (29/3).
Haris berasumsi 10-20 tahun ke depan energi emas hitam dari perut bumi Banua akan habis. Oleh sebab itu mesti ada sumber penerimaan alternatif baru, seperti pariwisata.
Empat sampai lima even pariwisata Kalsel masuk dalam kalender even nasional. Apalagi kalau bukan pariwisata budaya Pasar Terapung di Sungai Martapura Banjarmasin.
"Namun akan tetap ditopang PAD di sektor pertanian dan kehutanan. Bahkan, lubang bekas tambang pun masih bisa dijadikan sebagai kawasan pariwisata," jelasnya.
Dari catatan Bank Indonesia, dalam rentang 2016-2017 struktur perekonomian Kalsel didominasi sektor berbasis komoditas.
Sektor pertambangan berkisar 20,9 persen, pertanian 14,9 persen dan industri pengolahan 14 persen.
Ketidakpastian global yang terjadi beberapa tahun terakhir mendorong ketidakstabilan harga-harga komoditas tersebut. Perekonomian daerah rentan terhadap kondisi global.
Sudah Darurat Ekologis
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi, Kalsel telah darurat ekologis.
Dari total luas 3,7 juta hektar, sekitar 50 % wilayah Kalsel sudah dibebani Izin Tambang dan Perkebunan Sawit. Itu belum termasuk HTI dan HPH.
“Di mana sampai sekarang, peruntukan lahan untuk pangan masih belum jelas masuk ke dalam RTRW, baik kabupaten atau kota maupun provinsi,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyo dihubungi terpisah, Rabu (29/1) siang.
Walhi sudah acap kali mengingatkan akan bahaya ekologis yang menanti Kalsel di kemudian hari. Apalagi, menurut Walhi konflik Ruang/Agraria/Tenurial masih terus mengintai.
“Kemudian, bencana ekologis seperti banjir, karhutla, musim yang tidak menentu, pencemaran udara, pencemaran sungai, gagal panen, rakyat rentan terserang penyakit masih menghantui,” jelas Kisworo.
Bencana ekologis demikian akan sangat merugikan negara, dan yang sangat menanggung beban berat adalah rakyat, ujarnya.
Perkebunan kelapa sawit (monokultur) skala besar semakin membuat kondisi lingkungan dan hak rakyat akan tanah semakin memprihatinkan.
Tutupan hutan dan lahan hilang. Penggunaan bahan kimia perkebunan sawit yang berdampak terhadap kondisi udara dan air.
“Belum lagi semakin hilang dan tergusurnya ruang hidup rakyat dan potensi lokal seperti Kacang Nagara dan Gumbili Nagara,” cetusnya.
Baca Juga:BPS: Ekonomi Kalsel Triwulan II 2019 Melambat
Tak hanya itu, lebih ironis, lubang-lubang tambang yang masih menganga belum juga sepenuhnya direklamasi.
Upaya pemerintah dinilai belum jelas untuk memastikan perusahaan menjalankan kewajiban reklamasi.
“Itu mengakibatkan tercemarnya sungai Amandit, sungai Satui, sungai Barito, dan lainnya,” katanya.
Diakuinya bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar berbasis fosil untuk energi dan listrik, termasuk batu bara.
“Atau biasa kami sebut sebagai energi kotor, karena dari hulu hingga hilir rata-rata menghasilkan atau berdampak terhadap sesuatu yang tidak baik. Di hulu menghilangkan tutupnya lahan, hutan, merampas tanah rakyat, dan meninggalkan lubang beracun. Sementara di hilir, PLTU tetap masih merusak ruang hidup rakyat dan menyebabkan polusi, serta pencemaran,” bebernya.
Walhi yakin batu bara sudah mulai habis dan tidak lagi bisa diperbaharui. Sudah saatnya, tegas dia, negara maju beralih menuju energi terbarukan, ramah lingkungan, aman, dan berkelanjutan.
“Setiap instansi maupun perusahaan seperti mal, kantor pemerintah harus mampu memenuhi energi sendiri,” sarannya.
Harus ada kebijakan yang tegas dari pemerintah soal penggunaan energi ‘kotor’ itu. Selanjutnya, setiap desa juga bisa didorong untuk memenuhi energinya sendiri menggunakan microhydro.
Selain tenaga surya, angin, ombak melimpah di Indonesia, potensi air juga bisa digunakan sebagai penghasil energi.
“Tentu tetap yang diutamakan adalah energi bersih terbarukan, ramah lingkungan, aman, berkelanjutan dan berkeadilan lintas generasi,” pungkasnya.
Baca Juga:Ekonom Singgung 2 Sektor Andalan Pertumbuhan Ekonomi Kalsel
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah