bakabar.com, BANJARBARU – Sampai kini, Kalimantan Selatan (Kalsel) disebut belum memiliki satupun wilayah kelola rakyat (WKR). Pun, hutan adat.
Gerah akan hal ini, para penggiat lingkungan hidup meresponsnya dengan dialog publik, Kamis (26/12). Tema yang diambil: Perlindungan dan Pengakuan WKR di Kalsel.
Dalam dialog siang tadi, mereka ramai-ramai mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap masyarakat adat.
“Kita selalu mendorong agar negara mengakui WKR, baik wilayah adat, wilayah hutan desa maupun tanah untuk rakyat, tapi yang utama sampai sekarang belum ada WKR dalam bentuk wilayah adat khususnya dayak meratus” ujar Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono saat ditemui bakabar.com seusai kegiatan dialog publik di hotel Roditha Banjarbaru, Kamis (26/12) sore.
Selain Kisworo, hadir dalam dialog, Kasi Tata Ruang Dinas PUPR Kalsel, Rahmatullah. Perwakilan BPSKL Wilayah Kalimantan, Mugni Budi Mulyono. Direktur Walhi Nasional, Nur Hidayati. Serta, Kepala Adat Dayak Pitap, Ali Udar. Dialog tadi dijejali oleh para peserta yang berasal dari beragam latar belakang sosial.
Menurut Kisworo, di mana dengan tidak legalnya masyarakat adat menghuni tanahnya sendiri memicu tumbuhnya konflik antarperusahaan dengan masyarakat adat. Secara tak langsung hal ini dinilai ikut menggerus kekayaan alam Meratus.
“Konflik akan terus ada, karena kan belum diakui negara. Padahal suku Dayak orang pertama di bumi Borneo, sebelum negara kita merdeka mereka sudah di sini, tapi sampai sekarang tidak diakui negara,” lanjutnya.
Kisworo bilang sekalipun pihaknya telah memenangkan gugatan terkait undang undang kehutanan nomor 41, namun faktanya pengakuan hutan adat masih nihil.
“Kita menang gugatan sampai ada putusan MK nomor 35 yaitu hutan negara yang ada di wilayah adat diserahkan kepada masyarakat, jangan disepelekan ini,” tutur pria berambut gondrong ini.
Sekarang, lanjut dia, masyarakat adat Meratus itu melanggar hukum semua. Karena merambah ke kawasan hutan lindung.
“Kalau diterapkan penuh itu tahanan karena rata rata keluarga kita dayak Meratus itu di hutan lindung,” jelas dia.
“Versi negara, Meratus itu hutan lindung, versi orang dayak ya hutan adat, mereka sudah buat tata ruang di situ dari dulu,” ujarnya.
Namun prosedur untuk terealisasikannya hutan adat maupun WKR dikatakannya dipersulit pemerintah.
“Untuk pengakuan wilayah itu harus ada dari daerah salah satunya dalam bentuk Perda. Kalau memang serius, siapa yang tidak mengakui orang Dayak ini asli Borneo. Kenapa lama, saya bingung DPRD, bupati maupun gubernur memandang orang Dayak ini apa,” tanyanya.
Menurutnya, setiap kegiatan di Kalsel, poster orang Dayak selalu menjadi pemandangan yang disuguhkan. Dan, tentunya menjadi kebanggaan.
“Contoh HKSN kemarin, itu gambar orang Dayak, tarian juga dayak tapi dalam pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya tidak, ada apa ini?” herannya.
Segala upaya telah dikerahkan sejak bertahun lama. Baik oleh kalangan penggiat lingkungan sampai masyarakat Dayak. Namun pemerintah belum memberikan jawaban.
“Yang bisa menjawab itu seharusnya pemerintah, kita heran. Tapi kalau proyek lain cepat dijalankan contohnya Geopark Meratus tapi tidak mau menjawab Save Meratus,” terang Kisworo.
Sementara, Kepala Seksi Tata Ruang Dinas PUPR Kalsel, Rahmatullah mengaku pemerintah provinsi sangat mendukung pengakuan WKR untuk masyarakat adat.
Namun pemprov tidak dapat mengintervensi lebih dalam mengenai WKR karena keputusan ada di Menteri Kehutanan.
“Kalau kami PUPR mendukung sekali upaya pengakuan itu, karena UU kehutanan mengakui adanya mayarakat hukum adat dan hutan adat maka kita di daerah menindaklanjuti dengan mengikuti prosedur,” ujarnya kepada bakabar.com.
Namun, lanjut Rahmat, Pemprov mendukung melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH. Merekalah yang mengurus langsung di tingkat kabupaten.
“Mereka mengelola hutan sesuai SK menteri Kehutanan. Nah di situ kita tidak bisa mengintervensi karena itu keputusan atas,” ujarnya singkat.
PUPR, kata dia, tengah menggodok Kawasan Strategis Provinsi Pegunungan Meratus guna menjamin perwujudan ruang wilayah yang melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan.
Kepala Adat Dayak Pitap, Ali Udar sangat menyayangkan wilayah adat yang sudah diperjuangkan sejak 1999 hingga 2019 tidak segera diakui oleh negara. Konflik lahan ataupun sosial seperti yang Kisworo bilang pun banyak terjadi.
“Mulai masih masuk Kabupaten HSU [Hulu Sungai Utara], hingga sekarang akhir 2019 masih belum diakui negara,” kata Ali.
“Kami berjuang sampai sekarang meski belum ada pengakuan dari pemerintah. Kami ingin, hak kelola hutan tadi diserahkan ke masyarakat, agar tidak lagi ada konflik dengan perusahaan di tanah adat, tidak ada yang lain selain itu,” pungkasnya.
Baca Juga: Jadi Wakil Bupati, Walhi Kalsel Serahkan 'Save Meratus' ke Pundak Berry
Baca Juga: Bakal Jadi Wabup, Eks Direktur Walhi Canggung Saat Sesi Foto
Reporter: Nurul Mufidah
Editor: Fariz Fadhillah