bakabar.com, BANJARMASIN – Pemerintahan di Kalimantan Selatan mulai tertib sipil setelah wilayah Irian Barat kembali kepangkuan Republik Indonesia pada1962-1963. Pangdam X/LM, Kolonel M. Yusi yang terkenal anti PKI ditarik ke Mabes Angkatan Darat. Sebagai pengganti, ditetapkan Kolonel Amir Mahmud, terhitung sejak 5 September 1962.
“Akan tetapi secara efektif jabatan Pangdam X/LM baru bisa dipegang sepenuhnya, pada pertengahan November 1962,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepadabakabar.com, Senin (18/11).
Walaupun Kolonel M. Yusi sudah dimutasi ke Mabes Angkatan Darat, namun yang bersangkutan masih berada di Banjarmasin.
“Sebelum kedatangan Pangdam X/LM yang baru, maka tugas sehari-hari dilaksanakan Kasdam X/LM yaitu Letkol Piet Ngantuk,” beber Mansyur.
Stabilitas politik di permukaan kelihatan tenang-tenang saja, namun suasana politik dikendalikan dengan dukungan partai-partai besar yakni NU, PNI, dan PKI. Sedangkan partai MURBA, IPKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik dan Partindo dapat dikatakan tidak begitu besar pengaruhnya.
Sebagai catatan, kata dia, pada waktu itu Partai NU dikuasai generasi muda dengan militansi yang tinggi. Salah satunya yakni GP Ansor. Mengingat, GP Ansor merupakan organisasi pemuda terbesar di Kalsel.
“Sedangkan pasca pelarangan terhadap MASYUMI dan PSI, tokoh bersangkutan masih bersikap pasif. Bahkan dominan bergerak di bidang perdagangan,” ungkapnya.
Gubernur Kalimantan Selatan waktu itu, H. Maksid merupakan pendukung pelarangan kegiatan PKI di Kalsel. Dia, pada januari 1963, dilaporkan surat kaleng dan surat terbuka yang ditujukan kepada Kolonel Amir Mahmud. Isi surat tersebut menyebut H. Maksid telah menyelewengkan uang pemerintah daerah dalam perusahaan Pelayaran Tanjung Selatan.
“Perusahaan Pelayaran Tanjung Selatan merupakan usaha patungan antara pemerintah daerah Kalsel dengan Kho Sek Beng, seorang WNI keturunan Cina,” kata Mansyur.
Walaupun laporan itu belum jelas kebenarannya, namun Jaksa Tinggi M.D. Harahap mengatakan sudah ada bukti yang mengarah ke tindak pidana penyelewengan.
Jaksa Tinggi M.D. Harahap pun menyarankan agar sebelum diadakan penangkapan terhadap H. Maksid, maka Presiden Direktur Perusahaan Pelayaran Tanjung Selatan harus ditangkap lebih dahulu. Kemudian Jaksa tersebut meminta agar tindakannya di-back up oleh Pangdam X/LM.
“Akhirnya Kho Sek Beng ditangkap bersama beberapa saksi lainnya,” ujarnya.
Pemeriksaan secara intensif terus dilakukan, tapi belum ada bukti jelas yang mengarah terlibatnya Gubernur Kalsel, H. Maksid.
“Mungkin agar lebih cepat menemukan bukti-bukti, maka interogasi dilakukan dengan keras dan tidak wajar,” ucap Mansyur.
Kabar itu pun sampai ke telinga Deputi Wilayah Kalimantan, Brigjen Hassan Basry.Menanggapi hal itu, ia pun sangat marah.
Pada akhir April 1963, ia mengerahkan 2 kompi Baret Hijau (Raiders Kalimantan) yang dipimpin Kapten M. Yunan untuk mengepung rumah tahanan dan membebaskan Kho Sek Beng.
“Rumah Jaksa Tinggi M.D. Harahap pun dikepung. Beruntung yang bersangkutan tidak ada di rumah,” tambahnya.
Keadaan semakin tegang lantaran Pangdam X/LM juga mengerahkan seluruh jajaran pasukan termasuk pasukan yang ada di daerah-daerah (KODIM), Kepolisian, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Mengingat, Pangdam X/LM juga menjabat sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah Kalimantan Selatan.
“Kota Banjarmasin dapat dikuasai kembali termasuk menguasai lapangan udara (sekarang Syamsuddin Noor),” bebernya.
Pasukan Raiders kembali ke markasnya karena mereka mengetahui kekuatan yang tidak berimbang.
Selanjutnya, hubungan telpon ke rumah Brigjen Hassan Basry dan Kolonel M. Yusi diputus dan kedua pejabat tersebut diperintahkan dengan status tahanan rumah (huis-arrest).
Jaksa Tinggi M.D. Harahap diperintahkan meninggalkan Banjarmasin dan tak kembali lagi ke pos sebagai Jaksa Tinggi Kalsel.
“Menurut berita, yang bersangkutan dipindahkan ke Jawa Timur,” katanya.
Akhirnya, kasus Kho Sek Beng Affair ditangani Jaksa Agung di Jakarta. Demikian pula H. Maksid yang dipanggil Kejaksaan Agung ke Jakarta. Ia tak kembali lagi ke Banjarmasin.
Terdengar bocoran bahwa dalam proses interogasi kedua tersangka diperlakukan tak wajar dan ditahan di ruang tahanan yang tak sepantasnya.
Kemudian, Brigjen Hassan Basry dipindahkan ke Jakarta. Sementara menunggu pengganti, maka Kepala Staf Kolonel Wahman memegang tugas sehari-hari.
Pada tanggal 26 Agustus 1963, Menteri Panglima Angkatan Darat melantik Deputy Wilayah yang baru, Brigjen M. Pangabeyan.
Lalu, Kepala Deputy Wilayah Kalimantan melantik Kolonel Munadi sebagai Kepala Staf Komandan Antar Daerah Kalimantan (KOANDA) menggantikan Kolonel Wahman.
Pada 1964 perkara Kho Sek Beng dan H. Maksid ini diadili di Jakarta dan dibebaskan dari tuntutan karena tidak bersalah.
Maksid sendiri kedudukannya direhabilitasi kembali sebagai Pegawai Negeri dan diangkat sebagai Staf Ahli Mendagri bidang Pembangunan Masyarakat Desa.
Baca Juga: Intip Kekerasan G30S/PKI di Kalsel, Apa Peran Nahdlatul Ulama?
Baca Juga: Menyelisik Sejarah; Tumbuh Kembang PKI di Kalsel yang Berujung Hukuman Mati
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Muhammad Bulkini