Era kini, informasi palsu atau bohong bertebaran di mana-mana. Bahkan, tanpa tanpa disadari oleh pelakunya. ‘Banganga dulu hanyar baucap’.
Musnita Sari, BANJARMASIN
INDONESIA adalah negara kaya akan keragaman budaya, bahasa, suku, dan agama. Kekayaan itu tak terlepas dari peran masyarakat, menjaga serta melestarikan kebudayaan daerah.
Apabila dikelola dengan benar, kearifan lokal dapat menjadi potensi besar agar warisan yang telah didapat secara turun temurun tidak tergerus oleh zaman.
Peribahasa di atas mengandung pesan moral agar Kita teliti sebelum melakukan suatu hal. Media-media pun baiknya juga mulai menjadikan kebudayaan sebagai basis argumen.
Kalimantan Selatan memiliki beberapa seni tradisional berbasis sastra seperti Madihin, Peribahasa, ataupun Pantun Banjar.
Sayang, jumlah budayawan lokal masih terhitung jari. Di antara seribu orang yang membuat konten, mungkin hanya satu atau dua yang rutin memproduksi-nya.
“Lebih banyak, mereka hanya memposting ulang karya orang lain," ujar Pemerhati Budaya Kalsel, Noorhalis Majid saat bincang ringan dengan bakabar.com.
Untuk ikut berkontribusi melestarikan budaya Banjar, pria yang juga kepala Ombudsman Kalsel ini mulai rutin menulis dan membagikan kearifan lokal yang dia tekuni: Peribahasa Banjar.
Sedikitnya ada seratus peribahasa Banjar yang sudah dibagikan melalui grup percakapan dan media sosial miliknya.
Ya, dia memilih media sosial, konten kekinian yang saat ini memang dekat dengan kehidupan masyarakat di era digital.
Peribahasa dimaknai sebagai sebuah perumpamaan, seringnya berisi tentang nasihat ataupun tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Nasihat-nasihat yang disampaikan oleh para orang tua zaman dulu mulai jarang diucapkan kembali pada masa sekarang.
Peribahasa yang dia tulis terinspirasi dari nasihat-nasihat yang didapatnya dari sang ibu. Misalnya, ‘Buruk sikuan‘, dalam bahasa Indonesia berarti mengambil sesuatu yang telah diberi orang.
"Nah saat pemilu kan banyak sekali yang seperti itu. Caleg-caleg yang tidak terpilih kemudian mengambil apa yang sudah mereka bagikan. Makna peribahasa sebenarnya sudah baku dalam pemahaman kita, buruk sikuan contohnya," sebutnya.
Adalagi contoh peribahasa Banjar lainnya, seperti ‘Manimpakul, umpat batang timbul‘. Atau nasihat yang dia terima ketika kecil seperti ‘Jantik Paliran‘ (menyentil alat kelamin), yang diucapkan kepada anak kecil yang suka menangis atau mengadu.
Berangkat dari situ, Majid coba menggali peribahasa yang umumnya menjadi bahasa keseharian masyarakat Kalsel. Kemudian, menyisipkannya dengan makna-makna yang relevan dalam kehidupan.
"Saya sudah coba gali, tidak ada yang membuat ensiklopedia peribahasa Banjar, yang ada hanya kamus dan cerita Banjar saja," ujarnya.
Kesadarannya juga muncul ketika Indonesia tengah menghadapi musim politik, beberapa waktu lalu. Masyarakat, khususnya warganet dengan ringan membagikan satu informasi tanpa menyaringnya terlebih dahulu.
Informasi palsu atau bohong yang lebih akrab diucapkan berita hoaks oleh masyarakat, di era keterbukaan seperti saat ini memang mudah menyebar.
Selain ‘Banganga dulu hanyar baucap‘, banyak peribahasa lainnya yang mengandung pesan moral. Seperti: ‘Kumpai mangalahakan banua‘ (rumput mengalahkan kampung), ‘Badiri sadang baduduk sadang‘ (berdiri bisa, duduk pun bisa).
Beberapa peribahasa Banjar tadi, kata Majid, memiliki nasihat yang mirip. Mengingatkan masyarakat agar dalam bergaul tidak asal berbuat atau berbicara sembarang.
"Semua itu berisi nasihat yang menuntun kita. Kalau dimaknai secara strategis bisa menjawab hal-hal yang bersifat hoaks," tuturnya.
Tak hanya itu, agama pun tak luput kaitannya dengan penyebaran informasi hoaks. Padahal, sejatinya, agama yang benar tidak akan mendorong seseorang untuk bermusuhan, menyebar berita bohong atau semacamnya.
Karena itu, untuk mencegahnya dinilai perlu budaya yang juga lekat pada kebiasaan masyarakat Indonesia.
"Hanya agama yang dimanipulatif saja yang menimbulkan berita hoaks. Kita harus melawan sesuatu yang inherent itu dengan budaya," imbuhnya.
Seperti halnya peribahasa Banjar yang berbunyi ‘Mambangkik batang tarandam‘ (membangkit batang yang terendam), ini dapat dimaknai untuk menghidupkan kebudayaan yang mulai tenggelam agar terangkat kembali di masa kini.
Kelemahan saat ini karena sedikit orang yang memproduksinya. Lebih-lebih jarang diucapkan orang tua di rumah atau diajarkan di sekolah.
“Media-media pun baiknya mulai menjadikan kebudayaan sebagai basis argumen," ungkapnya.
Menonjolkan kembali suatu kebudayan memang tidak mudah. Peran serta tidak hanya melibatkan pemerintah dan segelintir masyarakat saja, namun seluruh pihak. Dimulai dari lingkup kecil, mengangkat kebiasaan dari nasihat orang tua kepada anak, misalnya.
Dirinya berkata, "Kita punya idiom yang luar biasa banyak. Seperti halnya, kata gugur, dalam bahasa Banjar ada berbagai kata yaitu ‘Tajarungkup‘, ‘Tasumbalit‘, ‘Tajungkang‘, ‘Tahantak‘, ‘Takipai‘, dan segala macam."
Dari satu kejadian atau peristiwa akan melahirkan berbagai kosakata baru. Dalam beberapa istilah Banjar, kosakata juga terserap dari bahasa asing.
"Kebudayaan kita berubah dari waktu ke waktu," katanya.
Sehingga, dapat disimpulkan peribahasa mengajarkan sesuatu bahwa kita memiliki strategi dalam menyelesaikan sebuah masalah, termasuk membendung sebuah berita bohong.
Masyarakat dinilai memerlukan edukasi seperti literasi digital dalam membendung berita hoaks.
Masyarakat, kata Yosep ‘Stanley’ Adi Prasetyo, tidak akan mudah tersulut konflik dan memiliki ketahanan apabila dapat melibatkan diri dengan kekuatan kearifan lokal.
“Khususnya era modern, di mana kelompok masyarakat milenial sebagian besar adalah para generasi muda,” kata Mantan Ketua Dewan Pers ini yang ditemui bakabar.com, belum lama ini.
Generasi sekarang cenderung individualis. Padahal, kearifan lokal yang dibalut oleh kebudayaan, diciptakan nenek moyang dari suku-suku maupun tradisi setiap wilayah Indonesia tugasnya adalah untuk membangun kebersamaan.
"Forum masyarakat bersama, mengecek kalau ada hoaks atau fitnah. Karena mereka tidak banyak berkomunikasi dengan orang lagi tetapi melalui media sosial, semua bisa diakses melalui handphone yang dibawa," kata Stanley usai menjadi pemateri rembuk bersama aparatur kelurahan dan desa melalui literasi informasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT).
Namun, menurutnya tidak perlu ada pertentangan. Pemerintah dalam hal ini, dapat mengintegrasikan secara komprehensif untuk mendorong kembali kearifan lokal. Misalnya, memunculkan festival-festival lokal.
"Dimunculkan kemudian orang-orang akan belajar, bisa dibuat buku, film atau lainnya. Supaya masyarakat lebih paham. Mereka memiliki mekanisme untuk menyelesaikan konflik itu," paparnya.
Memunculkan kearifan lokal sekaligus mendekatkan kepada anak-anak muda untuk menggelutinya. Mengambil contoh, Pela Gandong dari Ambon atau Dero dari Sulawesi Tengah. Keduanya, kebudayaan yang menjadi pemersatu bangsa khususnya warga lokal.
"Tradisi seperti itu banyak, cuman celakanya anak-anak yang terlibat makin sedikit. Dianggapnya itu tradisi orang tua, hanya muncul pada upacara-upacara adat saja," kandasnya.
Di akhir, bijak dalam menggunakan media sosial. Ini juga menjadi cara yang dapat membendung sebuah informasi hoaks. Terlebih, penyalahgunaan media sosial dapat menjadi sarana dalam penyebaran paham radikal.
Editor: Fariz Fadhillah