bakabar.com, JAKARTA - Terkadang banyak orang yang pergi mencari kebahagiaan dan merasa dirinya tidakbahagiasaat menjalani kehidupan. Padahal berbagai kebahagiaan tersebut dapat hadir dengan berbagai cara sederhana yang dilakukan sehari-hari.
Sebanarnya tema kebahagiaan (sa’adah) tak hanya dibahas dalam filsafat, tetapi juga dalam agama. Ini, karena kebahagiaan merupakan keutamaan (fadhilah) yang menjadi harapan setiap orang. Manusia sejatinya selalu merindukan kebahagiaan dan berharap terlepas dari penderitaan atau kesengsaraan (syaqawah).
Dalam tradisi masyarakat Arab, dikenal salam yang mengandung doa kebahagiaan. Bila seorang bertemu temannya, ia akan berkata kepadanya, Sa’daika (semoga Anda bahagia) atau As’adaka Allah (semoga Allah memberikan kebahagiaan kepada anda).
Lantas, apa kebahagiaan itu? Filosof akhlak Ibn Maskawaih mendefinisikannya sebagai puncak kebaikan (tamam al-khairat). Yang namanya puncak (al-tamam) adalah sesuatu yang apabila kita telah mencapainya, kita tidak membutuhkan lagi yang lainnya (huwa al-ladzi idza balaghna lam nahtaj ila syai’in akhar). Jadi, di atas kebahagiaan tak ada lagi nilai (kebaikan) yang lebih tinggi.
Kebahagiaan berbeda dengan kesenangan. Akan tetapi, awas, jangan sampai kita tertipu. Sebab, kesenangan itu suka ‘menyamar’ sebagai kebahagiaan. Orang yang mencari kebahagiaan dengan menenggak minuman keras, pil ekstasi, dan obat-obatan terlarang adalah korban dari penipuan ini.
Kebahagiaan dan kesenangan adalah dua hal yang berbeda, bahkan berlawanan arah. Karena itu, menurut al-Ghazali, kalau orang ingin bahagia, ia harus mundur atau keluar dari jalan kesenangan, menuju jalan kebahagiaan. Dalam ajaran kerohanian Islam, jalan kebahagiaan itu dinamai maqamat, yang membentang mulai dari titik start tobat, lalu asketik, diteruskan dengan sabar dan syukur, dan akhirnya mencapai finis berwujud kepuasan spiritual (rida).
Dalam satu tulisan, Ibn Sina menyebutkan bahwa kebahagiaan dibentuk oleh tiga komponen utama. Pertama, komponen kebaikan dan nilai-nilai kebenaran universal (al-khair). Kedua, komponen kegembiraan, al-farh (bukan kesenangan), yang diperoleh manakala seseorang mampu melaksanakan al-khair di atas dengan baik dan sempurna. Lalu, ketiga, komponen kedamaian dan ketenteraman batin (thuma’ninat al-nafs) yang lantas melahirkan kebahagiaan yang sangat dalam sehingga menjadi sangat personal dan tak terlukiskan dengan kata-kata.
Kebahagiaan dapat diusahakan dan dicapai di sini, dalam alam dunia ini. Tapi, puncak kebahagiaan tentu tak di sini, tetapi di akhirat kelak ketika manusia memperoleh kepastian hukum dalam mahkamah Ilahi, bahwa ia bebas dari api neraka dan beruntung mendapatkan tiket ke surga.
Inilah makna firman Allah, ”Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 185) Wallahu a’lam.
Baca Juga:Penjelasan Hubungan Sebab Akibat dalam Islam
Baca Juga:Menengok Masjid Wadi Al Hussein, Saksi Mata Penyebaran Islam di Thailand
Sumber: Hikmah Republika.com
Editor: Aprianoor