apahabar, BANJARMASIN – Penangkapan aktivis hak asasi manusia (HAM) Dandhy Dwi Laksono menuai kecaman dari sejumlah pihak.
Menurut Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Balikpapan, Devi Alamsyah, penangkapan terkesan berlebihan dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia.
“Semua pendapat ‘kan harus kita akomodir, kalau terjadi penangkapan artinya mengurangi dan mengekang kebebasan berekspresi,” ucap Devi saat dihubungi bakabar.com, belum lama ini.
Dandhy, kata Devi, cukup kritis dalam mengemukakan pendapat di media sosial seperti twitter.
Namun, cuitannya mengenai isu Papua mengantarkan dirinya pada penangkapan Kamis malam lalu.
Dandhy ditangkap dan rumahnya digeledah dengan alasan telah melanggar pasal 28 ayat (2) UU informasi dan transaksi elektronik.
“Kalau sedikit-sedikit ditangkap, nanti orang akan malas mengkritik dan itu artinya memberangus kebebasan berekspresi,” lanjutnya.
AJI sangat mendukung dan mendorong kebebasan dalam berekspresi dan berpikir baik dalam lingkup off-air maupun online.
“Karena itulah inti dari demokrasi sendiri. Kalau sedikit-sedikit ditangkap, jadi pemerintah yang antikritik dong,” pungkasnya.
Apabila mahasiswa dan sejumlah masyarakat menyuarakan protes mereka melalui aksi demonstrasi, maka asosiasi pers Indonesia telah mengeluarkan kecaman melalui petisi.
“Intinya sama. Ini (petisi) kan suatu cara sama seperti demo, bahwa publik banyak yang menolak UU, menolak revisi itu,” kata dia.
Presiden, kata dia, sebagai pemegang keputusan mestinya membaca atau mendengar apa yang menjadi keberatan dari masyarakat.
Pengaruh dari aksi demonstrasi atau petisi akan membentuk pengaruh opini building.
"Kita membangun opini publik bahwa revisi UU itu ada masalah dan diharapkan bisa menjadi pertimbangan. Artinya ini bagian dari proses demokrasi, dukungan terhadap AJI dan juga sebuah legitimasi dari masyarakat terhadap penolakan RKUHP itu nyata," ungkap dia.
Sementara itu, Paguyuban Korban UU ITE turut mengecam kriminalisasi terhadap kasus yang dialami Dandhy.
Kendati dilepaskan dan tidak ada penahanan, Pengamat Hukum Pidana Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Daddy Fahmanadie memandang kejadian ini juga sebagai bentuk kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berpendapat.
"Sederet kasus kriminalisasi tersebut tidak bisa dibiarkan karena ini adalah preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia," kata dia kepada bakabar.com.
Tak hanya Dandhy aktivis yang dikriminalisasi karena menyuarakan isu Papua namun juga sejumlah aktivis lainnya, seperti Ananda Badudu.
Eks jurnalis Tempo itu mesti berhadapan dengan meja penyidik terkait aktivitas mendanai demo mahasiswa baru tadi.
Hal sama, kata dia, juga menimpa pengacara HAM Veronica Koman, dan Surya Anta.
“Segala upaya untuk memenjarakan mereka dilakukan oleh negara untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di Papua, terlebih lagi akses jurnalisme di sana sangat dibatasi," tuturnya.
Oleh karena itu, dirinya yang juga tergabung dalam Paguyuban Korban UU ITE menyatakan sikap pada kasus ini.
"Kami sebagai sesama korban dari UU ITE menyatakan cabut status tersangka Dandhy Dwi Laksono. Hentikan segala upaya kriminalisasi dan penangkapan terhadap aktivis HAM, Menuntut pemerintah untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, Membuka akses jurnalisme seluas-luasnya di Papua," imbuhnya mengakhiri
Baca Juga: Terkait Papua, Polisi Tetapkan Dandhy Tersangka UU ITE
Baca Juga: Aliansi Jurnalis Independen Kecam Upaya Pelemahan KPK
Reporter: Musnita SariEditor: Fariz Fadhillah