bakabar.com, BANJARMASIN - Perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai protes banyak pihak.
Mulanya hanya sekelompok mahasiswa lintas universitas yang menyuarakan protes mereka melalui aksi demo.
Kini sejumlah asosiasi pers pun dengan tegas memberikan penolakan terhadap perubahan ini.
Melalui petisi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, IJTI, AJI, PWI, LBH Pers dan LPDS, mereka menilai apabila RKUHP disahkan menjadi undang-undang maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang tengah tumbuh dan berkembang di tanah air.
"Pasal-pasal dalam RKUHP akan berbenturan dengan UU Pers yang menjamin dan melindungi kerja-kerja pers," kutipan petisi yang diterima bakabar.com, Selasa (24/09) malam.
Menurut Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, penolakan ini sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
"Kami dalam kajian-kajian kami, seluruh asosiasi pers menganggap bahwa banyak penyimpangan-pennyimpangan yang akan terjadi, semacam membungkam kebebasan pers," kata Yadi saat dihubungi lewat panggilan suara, Rabu (25/9) pagi.
Dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, disebutkan bahwa kemerdekaan pers telah dijamin dalam undang-undang.
"Kebebasan pers itu bagi kami harga mati. Kami memandang kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang harus dijamin dan dilindungi serta dilandasi demokrasi," tegasnya.
"Kalau seandainya 10 pasal yang kami persoalkan itu masih berlaku di KUHP sudah tentu UU Pers nomor 40 tahun 1999 tidak akan punya fungsi yang jelas untuk pers. Karena kebebasan-kebebasan kami yang sudah dirampas," ungkap dia
Seandainya RKUHP benar-benar disahkan, dia memastikan hal ini akan menjadi kemunduran demokrasi. Seperti pada pasal penghinaan, harus dapat dibedakan antara kritik dan caci maki.
"Kritik itu koridor satu jalan artinya mengoreksi, mengontrol, kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Kalau misalkan kritik saja dibungkam, itu berbahaya artinya teman-teman pers dalam bekerja tidak akan bebas, tidak akan memiliki hak eksklusif," paparnya
Sejatinya, pers bekerja untuk kepentingan publik. Dalam hal ini, pers menyampaikan kebijakan pemerintah. Ketika kebijakan tersebut perlu dikritik maka wajar untuk dikritisi.
Beberapa pasal dalam RKUHP disebut sebagai pasal karet. Keberadaannya akan mengarahkan pada praktik otoritarian seperti yang terjadi di era orde baru. Menyamakan kritik pers dan pendapat masyarakat sebagai penghinaan dan ancaman kepada penguasa.
Mengkritik menurut Yadi menjadi multitafsir sebab tipis perbedaannya dengan menghina. Hal itu yang dapat membahayakan bagi pers untuk menyampaikan kritik terhadap kinerja lembaga pemerintahan ataupun Presiden.
"Pasal-pasal multitafsir itu yang berbahaya bagi eksistensi pers. Kalau misalkan penguasa ini tidak suka sama pers ini, ya bisa dibungkam dengan undang-undang itu," ujarnya mengakhiri.
Baca Juga: Tolak RKUHP, Mahasiswa 'Duduki' DPRD Kalsel
Baca Juga: DPR RI: RUU KUHP Masih Disempurnakan
Reporter: Musnita Sari
Editor: Fariz Fadhillah