Kalsel

Pelabuhan Martapura Lama, Terbaik di Kalsel-tim yang Punah oleh Sedimentasi?

apahabar.com, BANJARMASIN – Pelabuhan lama atau Pelabuhan Martapura Lama. Begitulah warga Banjarmasin menyebutnya. Pelabuhan itu terletak…

Featured-Image
Kapal Armada KPM dan NISM di Pelabuhan Lama, Banjarmasin. Foto-KITLV, Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen, Tropen-museum.

bakabar.com, BANJARMASIN – Pelabuhan lama atau Pelabuhan Martapura Lama. Begitulah warga Banjarmasin menyebutnya. Pelabuhan itu terletak di Jalan RE Martadinata, Banjarmasin.

Posisinya berdekatan dengan kantor Wali Kota Banjarmasin sekarang. Namun dermaga itu sudah lama tinggal nama, seiring adanya Pelabuhan Trisakti.

“Sayangnya, sejak 1965 aktivitas perdagangan bongkar muat dan lainnya dipindahkan ke Pelabuhan Trisakti. Pelabuhan lama pun merana dan mati,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Mansyur kepada bakabar.com, Jumat (19/7) pagi.

Menurut Susilowati (2004), kata Mansyur, pada abad XIX pelabuhan Banjarmasin merupakan pelabuhan terbaik di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur (Kalsel-tim).

Pintu masuk dan keluar pelabuhan adalah sungai Martapura dan sungai Barito yang sangat lebar. Sayang pelabuhan yang terletak di sungai Martapura itu memiliki kelemahan yang tidak mudah ditanggulangi, yaitu endapan lumpur pada muara sungai.

“Akibatnya pelabuhan Banjarmasin sering mengalami pendangkalan yang sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas pelayaran. Kondisi pendangkalan yang cukup parah terjadi di muara sungai Barito,” cetusnya.

Setidaknya, sambung dia, hasil kajian Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Nederlandsch-Indische Havens, Batavia, yang dipublikasi tahun 1920 menyebutkan bahwa pada saat air laut sedang surut, kedalaman pintu keluar masuk pelabuhan tersebut kurang dari enam kaki.

“Sehingga tidak mungkin dapat dilewati oleh kapal besar,” katanya.

Pada saat seperti itu, kapal besar yang akan memasuki sungai Barito untuk menuju pelabuhan harus menunggu di open sea sampai tiba air pasang. Lalu saat air laut dalam keadaan pasang, kedalaman air di sekitar muara sungai Barito adalah antara 13 sampai 14 kaki.

Dalam kajiannya, terang Mansyur, Susilowati (2004), yang mengutip dari artikel Van Borneo De Locomotif tanggal 2 Januari 1919, menceritakan gangguan alam ini. Yakni, betapa mengganggu dan merugikannya keberadaan beting lumpur di ambang sungai Barito yang menyebabkan terjadinya pendangkalan tersebut.

“Dapat diketahui antara lain dari kejadian yang menimpa kapal de Weer pada Desember 1918,” ungkapnya.

Pada 21 Desember 1918 pagi, kapal uap de Weer tiba di ambang sungai Barito. Namun, karena permukaan air sedang surut, maka kapal terpaksa membuang sauh. Pada pukul lima sore, ketika air mulai pasang, jangkar pun diangkat kembali dengan susah payah.

“Dengan perjalanan yang sangat lambat kapal bisa mencapai sungai Barito sebelum malam,” jelasnya.

Namun, kapal tidak dapat menamakan perjalanan karena sudah terlalu gelap untuk melayari sungai Barito. Baru pada subuh keesokan harinya de Weer melanjutkan pelayaran menuju pelabuhan.

Seandainya tidak terhalang di ambang sungai Barito, seharusnya de Weer sudah bersandar di pelabuhan 21 Desember pukul dua siang. Tetapi pada waktu itu kapal tersebut baru dapat bersandar pada 22 Desember pukul 7 pagi.

“Dengan demikian de Weert telah kehilangan waktu selama 17 jam,” ujarnya.

Sementara, hasil kajian Departement der Burgerlijke Openbare Wer-ken, Nederlandsch-Indische Havana juga mengemukakan bahwa sampai pada akhir abad XIX kondisi pelabuhan Banjarmasin masih belum memadai untuk pelaksanaan aktivitas bongkar-muat dari kapal-kapal yang singgah. Lantaran, sempitnya dermaga yang ada.

“Kelemahan ini kemudian dapat teratasi dengan selesainya perbaikan dermaga pada tahun 1911,” katanya.

Meskipun demikian, kapasitas dermaga dalam menerima kedatangan kapal pada saat-saat lalu lintas pelayaran cukup padat menjadi masalah yang belum teratasi.

Hal itu terlihat dari antrian kapal-kapal yang menunggu saat untuk dapat berlabuh di dermaga.

Pada 1911 telah dipertimbangkan untuk memindahkan emplasemen deanne ke Sungai Barito, agar kepadatan arus lalu-lintas pelayaran di Sungai Martapura dapat teratasi.

“Rupanya rencana itupun terbentur oleh besarnya biaya sehingga tidak jadi dilaksanakan,” katanya.

Pada 1915, ketika permasalahan semakin kompleks, karena kemudian muncul masalah boom (tempat menambatkan kapal) yang juga belum terpecahkan. Pengelola pelabuhan dihadapkan pada dua pilihan yaitu memindahkan dermaga atau memperbaiki dermaga yang sudah ada.

Departement der Burgerlijke Openbare Werken, Neder landsch-Indische Havens dalam Susilowati (2004), juga merilis bahwa dengan berbagai pertimbangan yang menyangkut keuntungan dan kerugian terhadap aktivitas perdagangan yang selama ini sudah berkembang pesat. Ditambah dengan pemanfaatan biaya seefektif mungkin, pengelola pelabuhan memutuskan untuk memperbaiki dermaga yang sudah ada.

“Perbaikan yang dilakukan terutama adalah pengerukan lumpur pada praefgeul (alur) dengan lebar dasar 100 meter, lebar di dalam laut 600 meter, dan panjang 7,5 kilometer,” bebernya.

Pekerjaan itu dimulai pada akhir tahun 1916 dan baru selesai pada pertengahan tahun 1918. Endapan lumpur yang berhasil dikeruk adalah sebanyak 1.350.000 nf.

Keberadaan Sungai Barito dan Sungai Martapura beserta sejumlah besar anak sungai yang muara akhirnya tidak jauh dari pelabuhan Banjarmasin terus-menerus menciptakan endapan lumpur. Sehingga mesin pengeruk lumpur harus selalu siap untuk dioperasikan.

“Namun pengoperasian alat penyedot lumpur tersebut agak mengganggu lalu lintas perdagangan di pelabuhan Banjarmasin,” tandasnya.

Baca Juga: Mengapa Kode Plat Kendaraan di Kalsel, DA? Begini Sejarahnya

Baca Juga: Sejarah Kampung Basirih; Asal Nama Hingga Suku Pertama yang Menghuni Wilayah Itu

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin

Komentar
Banner
Banner