bakabar.com, MARABAHAN – Pasca kenaikan denda pembayaran, kesadaran pelanggan PDAM Barito Kuala mulai meningkat. Namun masih tersisa sekian persen penunggak di Kecamatan Alalak.
Terhitung mulai April 2019, PDAM Batola meningkatkan nilai denda keterlambatan pembayaran dari Rp10 ribu menjadi Rp30 ribu per bulan.
Baca Juga: Batal Dibangun, Jembatan Alternatif Proyek Sungai Lulut Terkendala Anggaran
Sama seperti daerah lain, kenaikan tersebut sontak mengundang resistensi. Terlebih kualitas air yang dibayar, masih kurang memuaskan.
“Kami siap saja membayar tepat waktu, seandainya kualitas air juga baik. Terkadang kami malas bayar, karena air masih asam dan tiba-tiba bisa keruh,” seru Supian, warga di Jalan Veteran Marabahan.
Sementara warga lain di Alalak, Bahrudin, mengeluhkan debit air yang terbilang kecil, terutama di jam-jam pemakaian tertinggi.
“Memang kualitas air di Alalak sudah baik. Namun kalau siang, air terkadang tidak mengalir sama sekali. Padahal sudah dibantu pompa air listrik,” tukas Bahrudin.
Baca Juga: Polemik Perda Minol, Pengamat: Aturannya Susah Dipenuhi Pengusaha
Kendati demikian, kenaikan denda tersebut membuat efektivitas penagihan PDAM Batola meningkat sampai 85 persen dari sebelumnya cuma 65 hingga 70 persen.
“Setidaknya dalam dua bulan terakhir pasca kenaikan, efektivitas penagihan naik hingga 85 persen,” papar Kabag Administrasi dan Keuangan PDAM Batola, Nazhirni, Kamis (18/07/2019).
“Persentase penunggak terbanyak berada di Alalak yang notabene memiliki porsi pelanggan lebih banyak. Sebaliknya kecamatan lain seperti Tabukan, Barambai dan Wanaraya memiliki persentase rendah,” tambahnya.
Diduga persentase penunggak di Alalak bukan disebabkan perilaku masyarakat, melainkan terkait pertumbuhan perumahan.
Baca Juga: Polemik Batas Desa, Warga Jambu Baru Usir PT TAL
“Akibatnya terdapat rumah yang sudah terpasang aliran PDAM, tetapi masih belum ditempati. Oleh karena masih menetap di rumah lama, mereka justru lupa kewajiban membayar PDAM di rumah baru,” tukas Nazhirni.
Pun tidak sedikit rumah yang hanya menjadi objek investasi, sehingga dikunjungi sang pemilik dalam waktu-waktu tertentu. Imbasnya pembayaran beban PDAM pun bisa tertunggak berbulan-bulan.
“Sebenarnya kami tidak mengharapkan uang denda sebagai penerimaan. Kami hanya ingin pelanggan tertib, sehingga kami leluasa mengoperasionalkan PDAM,” beber Nazhirni.
Bahkan seandainya pembayaran tercapai 100 persen, PDAM mengklaim belum mendapatkan full cost recovery yang digunakan untuk membayar listrik, pembelian bahan kimia, perbaikan dan operasional lain.
Baca Juga: Hilangkan Penat, Satgas TMMD Mancing
“Andai full cost recovery, harga per kubik seharusnya bukan Rp2 ribu. Dengan harga pokok produksi air Rp7.900, kami bisa saja menaikkan tarif,” tegas Nazhirni.
“Namun kami juga harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat. Kalau harga terlalu tinggi, masyarakat yang kesulitan mendapatkan air bersih,” tandasnya.
Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Muhammad Bulkini