bakabar.com, BANJARMASIN - Sudah seharusnya sekolah menjadi tempat yang aman bagi peserta didik.
Namun hal itu seakan muncul di sebuah Pondok Pesantren di Kecamatan Limpasu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).
Hasil penyidikan terakhir, polisi mendapati sedikitnya sembilan santriwati diduga dicabuli oleh AJM (61), oknum pengasuh ponpes tersebut.
Kasus ini terungkap pada Mei lalu setelah satu per satu korbannya mengadu ke polisi.
Pria renta tersebut kini sudah dibui dan menanti untuk diadili. Kepadanya, polisi menetapkan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Ancaman hukumannya tak main-main: 15 tahun penjara. Bahkan bisa saja bertambah, mengingat pelaku adalah orang dekat korban.
Dosen Pendidikan Guru dan Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Lambung Mangkurat Fathul Jannah mengaku miris melihat kasus AJM.
Perbuatannya kepada korban yang masih berstatus pelajar tersebut dinilai telah mencoreng dunia pendidikan.
"Harusnya kita sebagai orang tua kedua di sekolah itu, bisa melindungi dan menjaga anak-anak kita sendiri," ucapnya saat bincang ringan dengan bakabar.com di Ruang Dosen PGSD belum lama ini.
Dosen PGSD lainnya, Ari Hidayat melihat perilaku menyimpang orang dewasa dalam melampiaskan hasrat seksualnya ke anak di bawah umur memang sering terjadi.
Sebagai seorang laki-laki, kata dia, tidak dapat dipungkiri intensitas kedekatan dengan lawan jenis akan memicu timbulnya hawa nafsu.
"Kita tidak tahu alasan pelaku, bisa jadi karena faktor permasalahan pribadi di keluarganya. Kemudian melihat anak didik yang cukup supel dan tidak bisa menahan dorongan seks lalu terjadinya hal tersebut," ujar Ari.
Meski seorang guru ibarat orang tua kedua anak di sekolah, Ari mengatakan tetap harus ada batasan kedekatan. Apalagi seperti Pondok Pesantren dengan basis Islam yang kuat.
"Kalau di Pondok pesantren kan 1×24 jam ada di sana. Tidak hanya santri atau santriwati yang membatasi diri, para guru pun seharusnya juga demikian," tuturnya.
Selain permasalahan pribadi dalam lingkungan keluarga, kontrol yang lemah akan pengaruh internet pun bisa menjadi faktor lainnya.
Padahal dalam ilmu pendidikan, khususnya di bangku perkuliahan telah ditanamkan sejak dini pembentukan karakter dan watak seorang guru dalam menghadapi muridnya.
"Sosial media sangat mudah diakses tanpa batasan umur, di sana mereka juga bisa mendapatkan materi secara gratis. Harusnya ada batasan untuk konten negatif, tapi karena ada jutaan pengguna jadi sulit untuk dikontrol," imbuhnya.
Di PGSD, beberapa mata kuliah seperti pendidikan multikultural dan pendidikan karakter diberikan ke wali calon peserta didik untuk diimplementasikan saat terjun ke lapangan nantinya.
Pentingnya pendidikan inklusi bagi anak normal maupun anak berkebutuhan khusus jadi materinya.
"Sebenarnya di bangku kuliah itu sudah diberikan semua ilmunya tapi penerapan yang kurang. Menjadi seorang pengajar harus dari hati, bukan semata timbal baliknya untuk ekonomi saja," lanjut Fathul.
Dalam prakteknya tidak sedikit anak yang meminta perhatian lebih kepada guru. Oleh karenanya, pengamalan ilmu teori hingga implementasi menjadi kunci utama untuk menjadi seorang guru yang baik.
"Misal ada murid yang bandel atau manja. Kita sebagai guru sudah tahu bagaimana melayani dia, tapi masih ada batasnya. Sehingga sang anak merasa aman, tapi tidak dijerumuskan ke hal-hal yang negatif," ungkapnya.
Tidak hanya membekali dengan ilmu, di PGSD cara berperilaku hingga penggunaan pakaian juga sudah memiliki aturan khusus untuk menampilkan sosok seorang pendidik.
Pada semester awal pun telah ada pengenalan peserta didik untuk menghadapi karakter tiap anak yang berbeda.
"Jadi oknum-oknum yang keluar dari jalur, saya rasa dari individunya sendiri yang bermasalah. Jadi tidak bisa kita salahkan dengan pendidikannya," kata dia.
Baca Juga: INFOGRAFIS: Korban Pencabulan di Ponpes Limpasu HST Bertambah Lagi!
Baca Juga: Pencabul Santriwati di Ponpes Limpasu HST Segera Diadili
Baca Juga: Korban Pencabulan di Ponpes Limpasu HST Bertambah Jadi 9 Anak!
Reporter: Musnita SariEditor: Fariz Fadhillah