Kalsel

Baru 15 UMKM Batola Bersertifikat Halal

apahabar.com, MARABAHAN – Dari ratusan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Barito Kuala, baru 15…

Featured-Image
Dua produk UMKM dari Kecamatan Cerbon yang sudah mengantongi sertifikat halal. Foto-Bastian Alkaf

bakabar.com, MARABAHAN – Dari ratusan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Barito Kuala, baru 15 yang mengantongi sertifikat halal.

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah mewajibkan seluruh pelaku industri memiliki sertifikat halal. Aturan itu juga berlaku untuk UMKM.

Sertifikat tersebut dikeluarkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah Kemenag. Penerapan kewajiban ini dilakukan bertahap sejak 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.

Adapun usaha yang harus memiliki sertifikat halal adalah restoran dan rumah makan, katering, rumah potong hewan, aneka kue dan roti dan makanan ringan.

Kemudian produk ikan olahan, produk olahan nabati, air minum dalam kemasan, minuman, bahan minuman, pemanis dan madu, serta aneka sambal dan telur asin.

Namun demikian, waktu yang tersedia itu tidak seharusnya membuat pengusaha bersantai. Terlebih untuk mendapatkan sertifikat halal, proses yang dilalui cukup panjang.

Pun syarat yang dibutuhkan tidak sedikit. Mulai dari SIUP, lisensi perusahaan dari notaris, kepemilikan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), MD atau SNI, termasuk uji laboratorium.

Kemudian persyaratan tersebut diverifikasi, pelaksanaan audit lapangan, hingga sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah dievaluasi BPJPH dan MUI, baru kemudian sertifikat tersebut dikeluarkan.

Dalam memberikan penilaian, auditor mempertimbangkan kehalalan sumber bahan baku dan infrastruktur rumah produksi.

Juga kehalalan persiapan produksi, cara pembuatan hingga penyimpanan. Biasanya banyak pelaku industri yang terkendala dalam proses audit.

Andai semua proses tidak mengalami kendala, penerbitan sertifikat halal memakan waktu sekitar empat hingga lima bulan.

Selain soal waktu, biaya penerbitan sertifikat berkisar Rp4 hingga Rp5 juta. Biaya tersebut termasuk transportasi, akomodasi dan konsumsi auditor.

Sertifikat halal ini berlaku selama dua tahun. Sedangkan biaya perpanjangan per produk sekitar Rp2 juta.

“Memang biaya yang dibutuhkan cukup mahal, sehingga terkadang pelaku usaha berpikir anggaran membuat sertifikat dijadikan modal dulu,” papar Kabid Perindustrian Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskopperindag) Batola, Wahyu Adibawono, Rabu (17/07/2019).

“Namun demi perkembangan usaha, terutama pemasaran produk ke toko-toko modern maupun penjualan keluar daerah, sertifikat halal menjadi salah satu persyaratan utama,” imbuhnya.

Batola sendiri memiliki ratusan UMKM yang tersebar di 17 kecamatan. Dari data Diskopperindag Batola, ternyata cuma 15 UMKM yang mengantongi sertifikat halal untuk berbagai produk.

Di antaranya Keripik Singkong Igoy, Sale Kriuk, Keripik Kelakai Jaya Rezky, Kacang Kecambah Kamu, Kerupuk Pipih Sama Berjuang dan Alexa Bakery.

Diskopperindag Batola tidak tinggal diam. Selama tiga tahun terakhir, mereka memfasilitasi pelaku usaha yang ingin mendapatkan sertifikat halal.

“Dalam setiap tahun, kami menawarkan bantuan kepada enam pelaku usaha. Tiga ditanggung kabupaten dan sisanya difasilitasi provinsi,” jelas Wahyu.

“Seiring kewajiban sertifikat halal sejak Oktober 2019, kami sudah mengusulkan penambahan jumlah pelaku usaha yang difasilitasi,” sambungnya.

Di antara pelaku usaha yang sudah difasilitasi Diskopperindag Batola adalah Sudarsih. UMKM di Desa Sawahan Kecamatan Cerbon ini mengantongi sertifikat halal untuk produk Kriuk Sale dan Stik Daun Pakis sejak 2018.

“Dari pertama persiapan berkas, audit hingga penerbitan sertifikat, saya hanya menunggu sekitar dua bulan. Semuanya gratis lantaran dibantu Diskopperindag Batola,” ungkap Sudarsih.

Setelah mendapatkan sertifikat halal, pemasaran Sale Kriuk mulai meluas. Tidak hanya Batola, produk berbanderol Rp10 ribu hingga Rp15 ribu tersebut sudah dijual ke Banjarmasin dan Samarinda.

“Dalam satu bulan, Sale Kriuk bisa laku sebanyak 1.200 bungkus. Sekarang saya yang keteteran, karena kekurangan modal dan bahan baku,” jelas Sudarsih.

“Namun demikian, saya semakin semangat bekerja. Malah Stik Daun Pakis yang baru diproduksi dalam sebulan terakhir, bisa laku sebanyak 200 hingga 300 bungkus per bulan,” tandasnya.

Baca Juga:Demi Kesehatan Siswa, Guru di Batola Ikuti Bimtek Keamanan Pangan Sekolah

Baca Juga: Cegah Rabies Kembali, Ini yang Dilakukan Disbunak Batola

Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Syarif



Komentar
Banner
Banner