Nasional

Hatam 2019, Jatam Tuntut Kewenangan Izin Tambang Gubernur Kaltim Dihapus

apahabar.com, SAMARINDA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), ataupun Greenpeace Indonesia, melakukan…

Featured-Image
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyegel pagar utama Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Selasa 29 Mei 2019, dalam peringatan Hari Anti Tambang 2019. Foto-Tempo

bakabar.com, SAMARINDA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), ataupun Greenpeace Indonesia, melakukan aksi segel di pagar utama Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa 29 Mei.

Dari Kaltim, Jatam setempat menuntut hal serupa; pembekuan Dinas ESDM Kaltim. Selain itu, tentunya agar kewenangan izin tambang yang dimiliki gubernur dihapus.

Desakan tersebut, menurut Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang, demi menyelamatkan Kaltim dari pengrusakan dan perluasan lubang tambang.

Soal aksi serentak, kata Rupang, demi memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), 29 Mei. Hatam terinspirasi dari salah satu tragedi bencana industri tambang, yakni Lumpur Lapindo, atau pasca semburan pertama tragedi di Jawa Timur.

Hatam didasari atas kenyataan ekspansi pertambangan di Indonesia yang dianggap telah menghancurkan ruang produksi rakyat dan lingkungan yang ujungnya memiskinkan masyarakat lingkar tambang secara perlahan.

“Bahkan keberadaan tambang di seluruh Indonesia telah meningkatkan kuantitas kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia termasuk merenggut ratusan nyawa tak berdosa,” ujar Rupang dalam siaran persnya.

Samarinda, kata dia, pada tahun yang sama dengan semburan Lumpur Lapindo pertama kali, sebagai ibukota Kaltim telah menghilangkan lima nyawa di lubang tambang batubara yang tak direklamasi. Dan hingga 2019 berjumlah 33 korban di seluruh Kalimantan Timur.

Kondisi seperti ini, lanjut Rupang, tak memberi efek apapun kepada negara. Dalam hal ini pemerintah, baik nasional hingga tingkat provinsi. Tak juga banyak mengubah kebijakannya untuk menjaminkan keselamatan bagi rakyatnya.

“Daratan Kaltim dengan luas 12,7 juta hektare (Ha), sebanyak 5,2 juta Ha (43%) lahan dikapling ke dalam 1.404 konsesi Pertambangan. Bagaimana di lapangan ekonomi terhadap sektor ini?”

Tambang, kata dia, mengambil porsi paling banyak mengeksploitasi daratan Kaltim. Namun, kehadirannya justru tak mampu mengeluarkan Provinsi ini dari jurang Kemiskinan.

Kabupaten Kutai Kartanegara, misalnya, daerah di mana izin terbanyak diterbitkan oleh Pemkab nyatanya tingkat penduduk termiskin Kaltim, sebut dia, berasal dari daerah ini.

“Setali tiga uang dengan Samarinda sebagai satu-satunya kota di Indonesia yang 71% tata ruangnya dikapling konsesi tambang juga nasibnya tidak berbeda jauh dengan kabupaten tetangganya,” ujar Rupang. Jatam menyebut, jumlah penduduk miskin kota ini menempati urutan ke dua se-Kaltim.

“Tambang batubara adalah pilihan ekonomi yang membangkrutkan, tidak sedikit warga yang harus mengongkosi segala pemulihan dan perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh industri keruk ini,” ujar Rupang.

Mulai dari meninggikan rumah, menguras sawah dari lumpur tambang, menggali sedimentasi tanah tambang di Sungai Mahakam dan anak sungainya, semenisasi halaman, membuat tanggul, hingga menambal dan meninggikan jalan.

Setiap tahunnya kas provinsi serta kabupaten dan kota, kata dia, habis digelontorkan hanya untuk memperbaiki segala kerusakan yang dibuat oleh industri ini. Hilangnya dusun atau desa mestinya menjadi pukulan bagi seorang kepala daerah. “Namun ironisnya itu tidak berlaku di sini,” jelasnya.

Contoh lain, kata dia, Kampung Keraitan tempat di mana komunitas Dayak Basap terancam hilang, penduduknya dipaksa pindah oleh PT. KPC.

Begitupun Desa Mulawarman dan Desa Bhuana Jaya yang masing-masing telah kehilangan 1 dusun karena berubah menjadi lubang tambang raksasa.

“Hingga hari ini Bupati Kutai Kartanegara serta Gubernur Kaltim hanya bisa cuci tangan menyaksikan kedua desa tersebut diporak-porandakan oleh aktifitas tambang PT. Kayan Putra Utama Coal (PT.KPUC), PT.Jembayan Muara Bara (JMB) dan PT.Khotai Makmur Insan Abadi (PT.KMIA),” sebut Rupang.

Sejak 2008 hingga akhir 2018 Jatam Kaltim mencatat setidaknya ada 33 petani dan masyarakat adat yang dikriminalisasi karena menolak melepaskan tanahnya kepada perusahaan tambang.

Jatam meyakini jumlah tersebut jauh lebih banyak. Banyak di antara kasus konflik tenurial yang disebabkan perusahaan tambang terjadi di wilayah pelosok yang tak terjangkau liputan media.

Tercemarnya sejumlah sungai-sungai penting di Kaltim melengkapi catatan hitam industri tambang.

Di Kutai Kartanegara, Sungai Santan yang disebut-sebut sebagai urat nadi bagi masyarakat 3 kampung yakni Santan Ulu, Santan Tengah dan Santan Ilir, kata dia, kini tak lagi bisa dikonsumsi oleh masyarakat.

“Aktifitas tambang PT. Indominco di hulu sungai yang menjadi penyebab rusaknya ekosistem air sungai. Buaya yang dahulu biasa mencari makan di wilayah muara kini semakin mendekat kepemukiman warga,” jelasnya.

Telah 11 orang korban meninggal akibat keganasan satwa air ini. Serupa, kata dia, di Kabupaten Kutai Timur Sungai Sangatta dan Sungai Bengalon kini tinggal sejarah.

Kedua sungai besar ini dahulu menjadi tempat beraktifitas ekonomi serta rekreasi juga sumber air bersih bagi kebutuhan harian warga, kini sudah rusak dan tercemar. Semua berubah sejak PT.KPC menambang di hulu kedua sungai tersebut.

Potret-potret tersebut adalah bukti-bukti bahwa investasi berbasis komoditas tambang sebagai investasi yang rakus lahan, rakus air, sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, serta jauh dari kata keberlanjutan lingkungan.

“Daya rusak industri pertambangan selama ini telah berhasil menciptakan pengungsi-pengungsi sosial-ekologis, yakni mereka yang ruang hidupnya dirampas dan dirusak, sehingga tak lagi melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti semula,” tutur Rupang.

Jatam menilai Dinas ESDM Kaltim merupakan salah satu simpul birokrasi pemerintahan terpenting dalam melanggengkan oligarki ekstraktif di Indonesia.

“Dinas inilah yang selama ini berfungsi menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang diterbitkan baik oleh kepala daerah untuk memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif di Indonesia,” sambung Rupang.

Kantor-kantor pengurus publik inilah, menurut dia, yang harusnya bertanggung jawab atas segala permasalahan perampasan dan perusakan ruang hidup rakyat oleh industri ekstraktif.

Pada peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) tahun ini Komite Lawan Tambang Kaltim mendesak pembekuan Kantor ESDM Kaltim, sebab fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkannya adalah sumber perusakan dan pelayan kepentingan korporasi, baik pelayanan perbankan/keuangan maupun industri pertambangan.

“Pembekuan dilakukan agar Kaltim punya masa transisi untuk memulihkan alam serta ekonomi rakyat dan menghentikan laju perluasan lubang tambang,” jelasnya,

Perlu juga pertimbangan kembali arah sumber pendapatan daerah yang tidak bertumpu pada model indsutrif ekstraktif namun beralih pada model industri ramah lingkungan yang tak merusak, tak mengancam keselamatan publik dan tentunya berkelanjutan.

Selama pembekuan ini berlangsung, kata dia, aparat negara harus menjaga dan memastikan bahwa proses penerbitan dan perpanjangan izin ESDM berhenti.

“Industrialisasi seharusnya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi angkatan kerja dan bagi penerapan keadilan sosial, pendapatan negara tidak boleh dibangkitkan dengan mengorbankan syarat-syarat keselamatan warga negara dan alam jangka panjang.”

Peringatan Hatam 2019, bertepatan pula dengan Bulan Suci Ramadan. Maka momentum ini digunakan untuk melakukan perluasan jejaring dan perhatian untuk kasus lingkungan hidup di Kaltim yang minim pertanggungjawaban serta tanpa penyelesaian.

Adapun peringatan Hatam 2019 di Kaltim, 24-29 Mei 2019, kata dia dirangkai oleh sejumlah aksi. Mulai dari seruan doa untukk 33 korban lubang tambang batubara dari 100 masjid dan rumah ibadah di Kaltim.

“Ini bentuk keprihatinan kami dan dukungan untuk keluarga korban dan masyarakat lingkar tambang yang masih berjuang untuk penyelamatan ruang hidup di Kaltim,” tukasnya.

Tak cuma itu, 25 Mei lalu, Jatam turut menggelar film Sexy Killer, film dokumenter dari Watchdoc dengan durasi 1,5 jam. Diputar bersama dengan komunitas FPI (Freedom Pray Instrument) dan sejumlah perwakilan warga lingkar tambang.

“Perwakilan warga dengan 2 kasus yang berbeda tetapi dengan pokok permasalahnya sama yaitu pertambangan batubara yang berada di wilayah padat huni, tujuannya untuk mengajak masyarakat lebih banyak mendengarkan proses perjuangan mereka dan tentu saja mengampanyekan bahayanya pertambangan batubara,” jelas Rupang.

Sedangkan, puncak peringatan Hatam 2019, rencananya dilakukan hari ini, terpusat di Samarinda tepatnya di depan Kantor Pemerintahan Provinsi Kaltim. Adapun aksi ini akan melibatkan beberapa organisasi mahasiswa yang sebelumnya juga sudah dilibatkan.

Akan dilaksanakan dua proses. Pertama, aksi penyampaian kartu lebaran dan penaburan bunga di depan Kantor Gubernur Kaltim . Kemudian, Ceramah Ramadan oleh KH. Slamet, doa dan buka puasa bersama di depan Kantor Gubernur Kaltim.

img

Massa aksi di peringatan Hatam 2018 menagih janji Gubernur Kaltim menuntut penuntasan kasus tambang di Benua Etam lewat aksi teatrikal, Kamis 31 Mei, lalu. Foto-Istimewa

Baca Juga:"Liburan Lebaran Hanya 3 Hari, Jangan Ditambah"

Baca Juga:Ramai-Ramai Dorong Percepatan Status Hutan Adat Mahulu

Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner