bakabar.com, BANJARMASIN - KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari atau yang dikenal dengan Abah Guru Sekumpul lahir di masa penjajahan, 1942 M. Kelahiran ulama besar itu sempat disambut dengan kecemasan keluarga.
Kecemasan sempat mewarnai wajah keluarga Abah Guru Sekumpul saat beliau dilahirkan. Bayi yang baru keluar dari perut ibunda Hj Masliyah itu tak menangis seperti kebanyakan bayi yang baru lahir. Matanya terpejam, tubuhnya lunglai, tak ada tanda-tanda kehidupan.
Bayi yang lahir di Selasa malam (27 Muharram 1361 H/11 Februari 1942 M) itu pun langsung dibawa ke tempat Tuan Guru H Abdurrahman di sebelah rumah, tempat kelahiran.
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (2), Berganti Nama Karena Sebuah Isyarat
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (3), Waktu Kecil Diasuh "Wali Majezub"
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (4), Mengumpul "Dua Mutiara dari Tanah Banjar"
Di tempat Guru Adu -akrab dikenal Tuan Guru H Abdurrahman-, bayi itu langsung disambut dengan panjatan doa oleh Sang Ulama. Ajaib, bayi itu kemudian terlihat mulai bernafas dan terdengar isak tangisnya.
Guru Adu pun kemudian menyerahkan bayi itu kepada keluarga, agar dikembalikan kepada ibunya untuk disusui. Namun, Sang Bayi itu kembali berulah, dia tak mau menyusu dan terus saja menangis.
Tak ada jalan lain, Sang Bayi kembali harus dihadapkan pada Guru Adu untuk menghentikan tangisnya. Guru Adu berlaku ganjil saat itu, dia menjulurkan lidahnya pada Sang Bayi. Uniknya, bayi itu langsung berhenti menangis dan lahap menghisap lidahnya. Kejadian itu terus berulang, apabila bayi itu kembali menangis.
Setelah bayi itu berusia 2 minggu, Sang Ayah Abdul Ghani, merasa sudah cukup menginap di tempat Abdullah (keluarganya) di Desa Tunggul Irang, Martapura, dan ingin kembali ke kediamannya di Desa Keraton, Martapura. Kedua desa itu berjarak 1 kilometer.
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (5), Ejekan yang Menjadi Doa
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (6), "Kebaikan" yang Dinilai Tak tepat oleh Sang Ayah
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (7), Angin Menjadi Ribut Ketika "Dihukum" Sang Ayah
Maksud itu pun diutarakan Ayahanda Abdul Ghani kepada keluarga Abdullah. Beliau juga meminta nasehat dan doa kepada Guru Adu. Mengingat, tentara Jepang saat itu memberlakukan jam malam, yakni siapa saja yang terlihat berjalan malam akan langsung ditembak.
Keajaiban kembali terjadi, kepergian keluarga yang diiringi doa Guru Adu itu tidak terlihat oleh tentara Jepang. Padahal mereka menumpang sebuah mobil untuk pulang ke kampung halaman.
Sekilas tentang Tuan Guru H Abdurrahman, beliau adalah seorang ulama karismatik di zamannya. Keberadaannya di desa Tunggul Irang menjadi tameng dari segala marabahaya penjajahan. Setiap kali penjajah Jepang mau ke desanya, ada saja musibah yang menghalangi mereka. Bahkan diceritakan, kapal mereka tenggelam di sungai.
Kiranya faktor keselamatan itu-lah yang menjadi pertimbangan Ayahanda Abdul Ghani memilih desa itu menjadi tempat kelahiran Sang Anak, di samping masalah perekonomian keluarga yang belum stabil.
Baca Juga:Mengenang Abah Guru Sekumpul (8), Pernah Dikeroyok di Usia Sekolah
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (9), Melarang Murid Memberi Minum Saat Mengajar
Baca Juga: Mengenang Abah Guru Sekumpul (10), Sempat Mau Dibunuh Ketika Mengajar
Sumber: Buku Figur Karismatik Abah Guru Sekumpul
Editor: Muhammad Bulkini