Tak Berkategori

Organisasi Masyarakat Desak Pemerintah Akui Hutan Adat di Pegunungan Meratus

apahabar.com, Banjarmasin – Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel kompak…

Featured-Image
Keindahan alam di Lembah Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, yang terancam tambang batubara PT.MCM. Foto-Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

bakabar.com, Banjarmasin – Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalsel kompak mendesak pemerintah segera mengakui Hak Kelola Hutan Adat di Pegunungan Meratus.

Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Juliade mengatakan bahwa pengakuan atas keberadaan masyakat adat dayak meratus dinilai sangat perlu. Mengingat, masyarakat adat dayak meratus mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi dengan hutan di sana.

Baca Juga:Barabai Metal Syndicate Kampanyekan #savemeratus

“Hutan bagi mereka seperti ibu yang menjadi sumber penghidupan,” katanya kepada bakabar.com, Rabu (5/12) siang.

Agama Kaharingan (Balian) yang menjadi kepercayaan lokal tak bisa dipisahkan dari pengelolaan hutan/lahan dan kehidupan masyarakat di sana.

Ia bercerita, dalam proses perladangan, mulai dari batanung (menentukan baik tidaknya suatu lokasi dijadikan lahan berladang), manyalukut (membakar), manugal (pembibitan), hingga panen, semua proses itu dijalankan secara turun temurun.

Mamangan atau doa-doa yang dipanjatkan kepada Nining Bahatara agar hasil panen baik dan berlimpah serta para petani diberikan kesehatan agar bisa mengelola lahan secara terus menerus, menjadi pelengkapnya.

“Itu hak dasar mereka juga sebagai warga negara Republik Indonesia. Artinya hak dan kewajibanya sama dengan lainya. Termasuk posisi di mata hukum,” ungkapnya.

Menurutnya, dalam pengakuan Hutan Adat (HA) perlu adanya regulasi dari pemerintah daerah setempat. Adapun, apabila kawasan hutan adat tersebut berada di kawasan Hutan Lindung (menurut zonasi pemerintah), maka diperlukan peraturan daerah.

Sedangkan, apabila HA berada di kawasan APL (areal penggunaan lain ), maka bisa pakai Surat Keputusan (SK) Bupati/Gubernur.

Pihaknya bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lain sudah berinisiatif mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten mengeluarkan perda inisiatif pengakuan Masyarkat Hukum Adat (MHA) seperti yang sudah dilakukan di Balangan untuk masyarakat adat Dayak Pitap.

Baca Juga :Status Geopark Meratus: Walhi dan Gembuk Pertanyakan Komitmen Daerah

“Ini sudah didorong oleh Walhi Kalsel sejak Balangan masih gabung HSU, sedangkan yang lain ada di Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Hulu Sungai Tengah (HST). Namun, semua masih belum tercapai agar perda pengakuan MHA itu,” cetusnya.

Ia mengungkapkan bahwa untuk kawasan Hutan Adat di Hulu Sungai Tengah sudah memiliki draf Raperda, akan tapi belum ada tindak lanjut. Draf tersebut juga dianggap kurang jelas, apakah inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Pemda Hulu Sungai Tengah (HST).

Yang pasti, kata dia, pihaknya ingin ingin mendorong pengakuan hutan adat di wilayah adat Balai Limbur Kecamatan Hampang Kabupaten Kota baru. Pihaknya terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan komunikasi agar tak terjadi kesalahan komunikasi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Kisworo Dwi Cahyo menambahkan, pengakuan hutan adat mseharusnya yang utama dilakukan negara.

Selanjutnya baru penetapan fungsi lain dengan tetap melibatkan, komunikasi dan koordinasi dengan masyarakat Adat Dayak Meratus atau lembaga adatnya.

Kisworo -akrab disapa Kis- menegaskan, Pemprov Kalsel seharusnya mendukung gerakan #SaveMeratus, dengan mencabut izin industri ekstraktif sesuai kewenangan Gubernur.

Jika kewenangan ada di pemerintah pusat, maka Pemprov Kalsel mesti menyurati dan mendesak Pemerintah Pusat untuk segera mencabut izin industri ekstraktif yang ada di pegunungan Meratus. Termasuk PT. Mantimin Coal Mining (MCM) dan lainnya.

Kis berujar, pihaknya dan masyarakat adat masih berjibaku memperjuangan pengakuan hak masyarakat adat Dayak Meratus. Menurutnya, apabila ingin cepat, seharusnya Pemerintah Daerah (Pemda) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) jemput bola.

“Karena pengakuan Wilayah Adat atau Hutan Adat harus ada Perda,” pungkasnya.

Ya, berdasar Peraturan Menteri LHK No. 23/2015 tentang Hutan Hak, hutan adat merupakan hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat.

Dalam pasal 6 disebutkan penetapan hutan adat harus memenuhi tiga syarat, salah satunya keberadaaan masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerah.

Setiap usulan hutan adat, kata dia, umumnya terkendala pada komunitas adat yang belum mendapat pengakuan masyarakat hukum adat (MHA).

Soal ini, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Gusti Rahmat membenarkan, bahwa apabila ingin menjadikan hutan adat maka harus dibuat sebuah Peraturan Daerah (Perda) tentang hutan adat.

Akan tetapi, menurutnya sejauh ini pihak legislatif di sana masih belum merencanakan membahas peraturan daerah tersebut.

“Ini mudah sekali, asal ada Perda dan masyarakat memerlukan. Maka bisa dibangun hutan adat,” katanya.

Terkait permasalahan ini dia mengungkapkan, bukan merupakan wewenang dari Dinas Kehutanan, melainkan, kewenangan tersebut berada di Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) lainnya.

Reporter : M.Robby

Editor : Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner