bakabar.com, BANJARMASIN – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Prof. DR. HM. Hadin Muhjad menilai, putusan Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur yang menolak Gugatan Walhi Kalsel terbilang aneh.
Di sana sebelumnya Walhi mem- PTUN- kan SK Izin Operasi Produksi PT Mantimin Coal Mining (MCM), sesuai SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 441.K/30/DJB/2017.
Isinya tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT. MCM menjadi tahap kegiatan operasi produksi.
Baca Juga :40 Ribu Hektar di Pegunungan Meratus Bakal Diusulkan Hutan Adat
Dalam gugatan, kata dia Walhi Kalsel hanya menggugat SK Menteri ESDM No 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PT. MCM menjadi tahap kegiatan operasi produksi. Akan tetapi dalam perkara persidangan, Hakim PTUN membahas tentang PKP2B.
Menurutnya, ketika satu UU lahir maka suasana hukum, hubungan hukum muncul dari sumber hukum yang baru. Sehingga instrumen-instrumen lain mengikuti dengan UU baru.
“Dan hakim tidak mengerti itu, jadi undang-undang baru, tetapi kisah lama,” tegasnya.
Bahkan terbilang aneh, ketika Hakim PTUN, salah dalam menuliskan bentuk perjanjian yang disengketakan tersebut. Sebab, yang disengketakan adalah PKP2B, namun yang ditulis oleh Hakim PTUN tentang kontrak karya (KK). Sehingga, putusan niet ontvankelijke verklaard (NO) terlihat seperti dipaksakan.
“Menerima eksepsi, lalu gugatan tidak dapat diterima atau NO. Padahal jelas-jelas itu wewenang PTUN,” ujarnya.
Baca Juga :Pengamat: Meratus Layaknya Nagari di Sumbar dan Masyarakat Dayak Iban di Kalbar
Untuk diketahui Majelis Hakim PTUN Jakarta baru menyatakan gugatan tak sesuai ranah PTUN usai persidangan menempuh waktu selama kurang lebih tujuh bulan.
Dalam persidangan PTUN, Walhi Kalsel menguatkan dalil-dalil gugatannya selain mengajukan bukti-bukti tertulis, dengan menghadirkan satu orang ahli yang bernama DR. Ahmad Redi, S.H., M.H, dan menghadirkan lima orang saksi yang bernama Arbini, Darkuni, S.Hut, H. Sa’dianoor, S.T., M.Si, Johansyah, S.IP dan Akhmad Budiansyah.
Hadin menegaskan, saksi ahli yang dihadirkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan (Kalsel) dalam sidang gugatan itu kurang tajam.
“Kelemahannya satu, Walhi menampilkan Saksi Ahli kurang tajam,” katanya kepada bakabar.com, Rabu (12/12) sore.
Menurut Hadin, saksi ahli itu tidak mengarahkan bahwa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tersebut telah disesuaikan berdasarkan ketentuan Pasal 196 UU Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara.
Alhasil, wajar kata dia, pada 26 Oktober 2018, Ketua Hakim PTUN Jakarta, Sutiyono, memutuskan gugatan penggugat tidak diterima dan menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam sengketa ini sejumlah Rp.21.271.500 atau 21,2 juta, tak dapat diterima.
Baca Juga :Pemerintah Harus Selamatkan Meratus
“Terus berjuang, jangan menyerah karena Tuhan akan memberikan jalan bagi siapa yang benar,” pesannya.
Adapun, soal ini, Walhi Kalsel sebelumnya menggelar eksaminasi putusan atau membedah putusan PTUN Jakarta Timur.
Walhi menganggap keputusan itu berat sebelah dan menyatakan akan melakukan banding. Dalam pemeriksaan, Walhi melibatkan tiga guru besar, termasuk Hadin, saat eksaminasi di aula Hotel Montana Banjarbaru, Selasa (11/12) siang.
Ya, masukan dari pelbagai kalangan umumnya diperlukan dalam eksaminasi. Hasil ini nantinya akan menjadi bahan masukan analis hukum Walhi. Hampir tiga jam eksaminasi terkait putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 47/G/LH/2018/PTUN, terkait gugatan WALHI terhadap Kementerian ESDM dan PT MCM berjalan.
Selain guru besar, eksaminasi ini hadir juga para pemerhati dan lingkungan lingkungan di Kalsel, para mahasiswa pencinta alam, organisasi lingkungan dan masyarakat.
Baca Juga :Eksaminasi Putusan Tambang di Meratus, Walhi Libatkan Tiga 'Guru Besar'
Reporter: Muhammad Robby
Editor: Fariz Fadhillah