bakabar.com, JAKARTA – Indonesia harus waspada. Ada sejumlah kemungkinan terburuk dampak perang Rusia vs Ukraina ke Tanah Air, termasuk ke Banua, sebutan lain Kalimantan Selatan (Kalsel).
Pengamat militer dari intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan pemerintah patut mewaspadai dampak perang Rusia-Ukraina. Salah satunya bagi perekonomian Indonesia.
“Sejumlah langkah strategis harus disiapkan secara matang mengantisipasi kemungkinan terburuk bagi kondisi sosial-politik di Indonesia,” kata Susaningtyas dikutip bakabar.com dari Antara, Sabtu (26/2).
Efek dominonya yang paling penting adalah harga pangan impor naik diikuti kenaikan barang lokal, biaya logistik melonjak, harga BBM menanti subsidi yang lebih besar, lonjakan harga minyak tak dapat dihindari.
Selain antisipasi di dalam negeri, kata dia, Indonesia juga harus waspada.
Ada kemungkinan negara tertentu mengambil kesempatan ketika dunia internasional sibuk menghadapi Rusia.
“Gelar operasi militer di Laut Natuna Utara harus tetap dilaksanakan. Jangan sampai terjadi serangan mendadak yang dapat merugikan pertahanan Indonesia,” jelas Nuning, sapaan Susaningtyas Kertopati.
Hal penting lainnya, kata dia, pemerintah Indonesia harus segera mengevakuasi WNI yang berada di Ukraina.
WNI di Ukraina
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) mencatat, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Ukraina sebanyak 138 orang.
Sebagian besar berada di ibu kota Ukraina, Kiev dan Odessa.
Adapun dari data yang dilaporkan KBR Kiev, di perbatasan, ada satu WNI yang tinggal di Donetsk, dua orang di Luhansk dan lima orang di Kharkiv.
Kemenlu mengimbau WNI yang ada di Ukraina untuk berkumpul di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kiev.
Saat ini sudah ada 72 WNI di Ukraina yang telah berkumpul di KBRI di Kiev.
Kemenlu telah menyusun rencana kontingensi sebagai antisipasi yang memuat tiga tahap, yakni, status darurat tiga, dua, dan satu.
Adapun dari 138 WNI yang berada di Ukraina masih dalam kondisi baik dan sehat. Mereka juga saling terhubung dalam grup percakapan.
Konflik Panjang
Nuning menjelaskan, perang antara Rusia melawan Ukraina meletus seperti banyak diperkirakan oleh para pakar dan pengamat.
Konflik menahun sejak wilayah Ukraina di Krimea diduduki Rusia pada tahun 2014 berujung serbuan Rusia di bagian Timur Ukraina.
“NATO dipimpin Amerika Serikat ternyata gagal melaksanakan diplomasi pertahanan untuk mencegah perang. Kepentingan NATO juga belum tentu dibuktikan untuk membela Ukraina sebagai salah satu anggotanya,” tuturnya.
Sejak 2014, kata Nuning, NATO tidak memberikan reaksi yang proporsional terhadap Rusia.
Strategi pendangkalan NATO juga tidak efektif mencegah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan operasi militer secara masif.
Menurut dia, perang yang terjadi di Balkan saat ini masuk dalam kategori perang asimetris dari perspektif ilmu Pertahanan.
Rusia adalah kekuatan yang superior dan Ukraina adalah kekuatan yang inferior.
NATO berusaha menancapkan kekuasaannya di Ukraina yang secara geografis berbatasan langsung dengan Rusia.
“Perbandingan kekuatan militer dan anggaran perang jelas dimiliki Rusia. Di atas kertas Rusia pasti ingin melaksanakan perang dalam waktu secepat-cepatnya sementara Ukraina pasti melancarkan perang berlarut,” kata Nuning.
Sejarah juga menunjukkan bahwa kekuatan superior, seperti Rusia ternyata kalah di Afghanistan. Amerika Serikat juga kalah di Vietnam dan Afghanistan.
Dengan demikian ada beberapa skenario yang dapat ditempuh dunia internasional untuk mengakhiri perang.
Pertama, kata Nuning, gencatan senjata dan turun tangannya PBB. Kedua, NATO mengerahkan kekuatan penuh mengalahkan Rusia dan memukul Rusia di wilayahnya sendiri. Ketiga, Ukraina menang perang berlarut.