bakabar.com, BANJARBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan menegaskan banjir yang kembali melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan, bukan bencana alam semata, melainkan kejahatan ekologis akibat kegagalan negara dalam mengelola lingkungan hidup.
Walhi juga menilai banjir merupakan dampak langsung dari kebijakan tata kelola lingkungan yang buruk, kelemahan mitigasi bencana, kerakusan korporasi, dan pembiaran sistematis terhadap kerusakan ekosistem.
Curah hujan tinggi disebut hanya sebagai pemicu. Sementara akar persoalan adalah kerusakan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
"Krisis iklim memang nyata, tetapi dampaknya di Kalsel berlipat ganda karena kehancuran ekosistem akibat deforestasi, pertambangan, perkebunan monokultur skala besar dan perizinan kehutanan yang terus diberi karpet merah oleh negara," ketus Direktur Walhi Kalsel, Raden Rafiq, Sabtu (28/12).
Walhi juga mengkritik kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka yang dinilai belum menunjukkan komitmen nyata dalam penyelamatan lingkungan.
Berbagai program atas nama pembangunan, pangan, energi dan pertahanan justru dianggap mempercepat perampasan ruang hidup rakyat serta memperdalam krisis ekologis.
Sedangkan di tingkat global, forum-forum iklim seperti Conference of the Parties (COP), termasuk COP 30 di Brasil, gagal menjawab akar persoalan krisis iklim.
Kesepakatan yang dihasilkan dinilai tidak menyentuh sumber emisi dan perusakan lingkungan, melainkan hanya melanggengkan praktik kapitalisme hijau melalui solusi-solusi palsu.
Wallhi juga mengkritik REDD+ dan perdagangan karbon. Penyebabnya program ini dinilai bukan solusi, melainkan bagian dari masalah karena tidak menghentikan deforestasi dan menjadikan hutan sebagai komoditas baru pasar karbon global.
REDD+ dinilai memberi ruang kepada negara maju dan korporasi perusak lingkungan untuk terus mencemari wilayah lain, sambil mengklaim pengurangan emisi.
"Padahal, hutan-hutan tersebut telah dijaga oleh masyarakat adat dan lokal tanpa skema karbon," beber Rafiq.
Dalam catatan Walhi, kondisi lingkungan Kalsel sepanjang 2025 telah melampaui batas aman. Dari total luas wilayah sekitar 3,7 juta hektare, sebanyak 51,57 persen atau sekitar 1,9 juta hektare telah dibebani izin industri ekstraktif.
Luasan tersebut setara hampir 29 kali luas DKI Jakarta. Sementara tutupan hutan primer yang tersisa hanya sekitar 49.958 hektare, atau jauh lebih kecil dibandingkan luas konsesi tambang, sawit, dan kehutanan.
Kondisi ini disebut menjadi penyebab utama pengulangan banjir, longsor, krisis air bersih, dan hilangnya sumber penghidupan masyarakat.
Walhi menilai pemerintah hanya berfokus kepada penanganan dampak bencana, seperti penyaluran bantuan dan normalisasi sungai, tanpa berani menyentuh penyebab utama seperti mengevaluasi dan pencabutan izin industri ekstraktif.
Pun aparat penegak hukum juga dinilai lambat meresposn aktivitas ekstraktif ilegal yang memperparah kerusakan lingkungan.
Atas kondisi yang kini terjadi, Walhi Kalsel menuntut pemerintah menghentikan seluruh perluasan dan operasi industri ekstraktif yang merusak lingkungan. Kemudian mengevaluasi dan mencabut izin bermasalah, menghentikan solusi palsu krisis iklim seperti REDD+ dan perdagangan karbon.
"Termasuk memulihkan lingkungan berbasis keadilan ekologis, dan menegakkan hukum secara tegas terhadap perusak lingkungan," tutup Raden.









