Kalsel

Terungkap di Persidangan, Begini Kondisi Kejiwaan Nabi Palsu di HST

apahabar.com, BARABAI – Sidang lanjutan terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan nabi palsu, Nasrudin di Hulu…

Featured-Image
Persidangan kasus penistaan agama yang disangkakan kepada nabi palsu, Nasruddin digelar menggunakan telekonferensi di PN Barabai, Kamis (9/4). Foto-apahabar.com/Lazuardi.

bakabar.com, BARABAI – Sidang lanjutan terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan nabi palsu, Nasrudin di Hulu Sungai Tengah (HST) menarik diikuti.

Pada persidangan yang digelar Kamis (9/4) tadi, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli, seorang dokter spesialis kejiwaan RS H Hasan Basry Kandangan, Sofyan Saragih.

Saragih menyebut terdakwa Nasruddin mengalami gangguan jiwa berat secara umum. Namun bukan gangguan jiwa berat seperti yang dibayangkan.

Dikatakan Sofyan, gangguan jiwa berat itu tandanya adalah terganggunya daya pikir atau ada hambatan penilaian terhadap realita.

Hal ini ditandai dengan bagaimana penilaiannya, bagaimana dia mempelajari bahwa, dia ini terganggu, tapi dia tidak meyakini apa yang terjadi itu benar.

Dalam kasus Nasruddin, kata Sofyan, dia mengalami suatu kondisi yakni, Waham Menetap.

Ini dikenal sebagai ‘persistent delusional disorder’ yang merupakan gangguan mental yang jarang ditemukan dengan waham sebagai satu-satunya gejala utamanya.

“Secara memori dia (terdakwa) bagus, normal, mampu berfikir jernih. Kecuali dalam hal keyakinan. Di luar itu, dia normal,” kata Sofyan pada sidang kelima kasus penistaan agama itu di Pengadilan Negeri (PN) Barabai Kelas II.

Itulah yang terjadi dengan Nasruddin. Waham menetap itu merupakan suatu keyakinan yang tidak wajar, tidak realitis, tidak bisa dikoreksi/digoyahkan, sangat diyakini dan tidak menganut pada pemahaman budaya ataupun spiritual lingkungan setempat.

“Jadi bagaimanapun upaya orang disekitar mengatakan sesuatu itu tidak benar, dia tidak goyah. Dia tetap pada keyakinannya,” terang Sofyan.

Untuk mengobservasi terdakwa, saksi ahli ini menghabiskan waktu selama 26 hari.

Terhitung sejak penyidik kepolisian atau Polres HST yang menyerahkan Nasruddin pada 9 Desember 2019 hingga 4 Januari 2020 untuk diobservasi kejiwaannya.

Selama mengobservasi terdakwa, ahli menggunakan 3 metode yakni, pengawasan, wawancara hingga mengunjungi lingkungan atau kediaman terdakwa di Desa Bandang (sekarang Kahakan) Kecamatan Batu Benawa, HST.

“Pengawasan 24 jam menggunakan CCTV untuk mengetahui bagaimana prilaku terdakwa kemudian wawancara selama 45 menit setiap harinya,” terang Sofyan.

“Hari ke 20 saya melakukan wawancara ke tempat tinggal Nasruddin ditemani psikiater dan perawat dan ketemu istrinya, berbicara dengan salah satu warga. Tidak ada keanehan prilaku dalam bermasyarakat,” papar Sofyan.

Saat melakukan metode ketiga yakni, rekam otak, ada perlambatan gelombang Elektroensefalogram (EEG), Sofyan pun mengonfirmasi dengan spesialis atau ahli syaraf untuk menanyakan apakah karena pengaruh obat-obatan yang sifatnya oksidasi.

“Pak Nasruddin tidak pernah menjalani pengobatan terkait dengan kondisinya saat ini. Selama perawatan saya tidak memberikan obat apapun,” kata Sofyan.

Dengan demikian, tidak ada pengaruh obat-obatan sama sekali.

Kemungkinan ada sesuatu lagi di otak Nasruddin pun menjadi pertanyaan Sofyan. Dia ingin mencari dan menyingkirkan kondisi organik yang mendasari situasi saat itu.

“Waktu itu saya sarankan kepada Polres HST selaku penyidik, untuk dilakukan MRI untuk analisa. Tapi terkendala biaya jadi sampai di sini saja,” aku Sofyan pada majelis persidangan yang diketuai Eka Ratna Widiastuti yang didamping dua hakim anggota, Ariansyah dan Novita Witri.

Pada sidang yang digelar kali ini, penasehat hukum (PH) pun juga menghadirkan dua a de charge atau saksi meringankan. Selain itu juga pemeriksaan terhadap terdakwa.

Saksi yang dihadirkan PH itu merupakan anak M Aini, mantan murid terdakwa pada 2014 silam. Keduanya datang jauh-jauh dari Kotabaru untuk memberikan kesaksiannya.

Sebelumnya, Herliani dan Herliati disebut saksi yang tak lain ayahnya sendiri, M Aini, mentransfer Rp 1,5 juta ke rekening terdakwa. Uang itu disebut sebagai infak.

Seperti kesaksian Aini padaa sidang ketiga. Dia mengatakan tiap bulan ada infak dari anaknya berupa uang yang mengalir ke rekening Nasruddin. Menurutnya, infak itu diserahkan secara suka rela dari jemaah, yang kemudian diserahkan kembali untuk membantu jemaah yang kesusahan.

"Saya mengetahui hal itu dari menantu saya. Sebelumnya, dia mengira uang yang dikirimkan adalah untuk saya. Tapi ternyata infak untuk pengajian Nasruddin," jelas Aini.

Kedatangan kedua saksi a de charge tadi untuk mematahkan hal itu. Baik Herliani maupun Herawati menampik jika uang yang diberikan untuk infaq sebesar yang dituduhkan ayahnya ketika menjadi saksi pada sidang saat itu.

"Tidak ada Rp1,5 juta. Hanya Rp200 sampai Rp300 ribu. Itu pun per dua bulan. itu juga diserahkan langsung kepada guru (terdakwa-red)," jelas keduanya.

Namun keduanya tidak hanya menyampaikan itu. Kakak beradik itupun dicecar pertanyaan-pertanyaan oleh majelis hakim.

Selesai pemeriksaan saksi, Hakim Ketua Eka Ratna Widiastuti pun menanyakan kepada terdakwa terkait kesaksian saat sidang itu. Nasruddin mengiyakan saja.

“Betul yang mulia tidak ada yang salah,” ujar terdakwa yang berada di Rutan Barabai Kelas II B dan tersambung dengan video confrence di PN.

Terdakwa yang saat itu diperiksa mengaku tidak perbuatannya seperti apa yang didakwakan terhadapnya yakni, penistaan agama dan penodaan agama.

Dia berkeyakinan bahwa dia memang orang yang diutus Allah sebagai nabi terakhir.

Bahkan, ia juga tak memungkiri jika ia mengubah dua kalimat syahadat.

"Saya bersaksi tiada Tuhan disembah selain Allah, dan Nasruddin pesuruh Allah. Ini yang saya yakni dan benar," ujar terdakwa mengakhiri.

Reporter: HN Lazuardi
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin



Komentar
Banner
Banner