Mata Yuliana tampak berkaca-kaca ketika mengenang perjuangannya membangun usaha demi mengantarkan mimpi sang buah hati menuntut ilmu ke Hadramaut, Yaman.
Muhammad Robby, BANJARMASIN
MENGENAKAN kerudung hitam dan daster merah bermotif kembang, Yuliana duduk di ruang tamu rumahnya di Gang Gawi Sabumi RT 16, Kelurahan Surgi Mufti, Kota Banjarmasin.
Di depannya terlihat dua toples besar transparan dengan tutup berwarna hijau dan merah muda berisi aneka macam keripik.
Dari keripik bawang, akar pinang, kue pelintir, kue rokok hingga pastel abon.
Maklum, wanita yang akrab disapa Yuli itu merupakan satu dari sekian pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) binaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Banjarmasin.
Kepada bakabar.com, Sabtu (6/5) pagi, Yuli menceritakan jatuh bangun perjuangannya menjalankan usaha.
Awalnya, Yuli hanya seorang karyawan toko sembako di Pasar Hanyar Banjarmasin.
"Saat itu saya masih bujangan. Namun setelah menikah dan punya anak, saya memutuskan untuk resign dan fokus menjaga anak," ucap wanita 37 tahun tersebut.
Seiring berjalannya waktu, ia pun berinisiatif mencari pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan di rumah.
"Akhirnya tercetuslah usaha berjualan keripik," katanya.
Kala itu, ia nekat merogoh kocek pribadi sebesar Rp500 ribu untuk menjadi reseller.
Bukannya untung, ia malah buntung. Dari modal keseluruhan, ia hanya mampu menjual produk sebanyak 20 persen.
"Kira-kira 20 persen saja yang terjual, sisanya saya bagikan secara gratis kepada tetangga," ungkapnya sembari tersenyum.
Setelah itu, ia berhenti menjadi reseller dan memberanikan diri membuat keripik sendiri pada 2011.
"Pertama-tama saya belajar secara otodidak. Pemasaran pun seadanya saja. Rata-rata pembeli datang langsung ke rumah," ujarnya.
Kendati demikian, ibu satu anak tersebut tak pernah menyerah dan terus membuat keripik secara konsisten.
"Sampai suatu hari ada permintaan puluhan kilogram, dan kami kebingungan mencari modal," kenangnya.
Dari sana, ia mengenal program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari BRI.
"Pertama kali saya mengajukan pinjaman Rp2 juta," katanya.
Semakin ke sini, usahanya pun semakin ramai. Puncaknya pada 2019 lalu. Di mana, perjualannya mencapai 60 kilogram per bulan.
"Harga keripik itu Rp50-60 ribu per kilogram. Kalau dikali 60 kilogram, ya segitu omzetnya," sebutnya tersimpuh malu.
Lantaran mengalami peningkatan, BRI akhirnya menjadikan Yuli sebagai pelaku UMKM binaan mereka.
Dari sana, Yuli diberikan pengetahuan tentang peningkatan kualitas produk hingga strategi pemasaran.
"Sudah lebih dari 20 kali saya mengikuti workshop BRI. Salah satunya terkait pemasaran produk melalui Facebook, WhatsApp dan Instagram," jelasnya.
Hingga kini, penjualan Yuli terus mengalami peningkatan.
Bahkan pada Ramadan 2023, Yuli mampu menjual keripik 200 kilogram.
"Itu merupakan penjualan tertinggi saya," bebernya.
Sang Anak Bermimpi ke Hadramaut
Di balik tekad Yuli, ternyata ada secercah mimpi sang buah hati untuk bisa melanjutkan pendidikan ke Hadramaut, Yaman.
Ya, sang anak bernama Muhammad Rafi Ridhoni.
Saat ini, ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Fikrah Kota Citra, Banjarbaru.
Meskipun masih lama, namun Muhammad Rafi benar-benar berambisi kuliah ke negeri para habib tersebut.
Bahkan Muhammad Rafi menjadi satu dari 20 santri yang masuk kategori calon penerima beasiswa kuliah ke Hadramaut.
"Alhamdulillah semoga mimpi anak saya bisa tercapai. Akan menjadi sebuah kebanggaan bagi saya selaku orang tua yang hanya penjual keripik dan ayahnya pekerja buruh bangunan," ungkapnya tersedu.
"Walaupun beasiswa itu gratis, namun biaya keberangkatan sebesar Rp40 juta kita yang menanggung. Meski masih nama, namun saya harus siap-siap dari sekarang. Semoga ada terus rezekinya," tutupnya.