Politik

Tanding Ulang Pilgub Kalsel, Ketika Ulama Jadi Corong Politikus

apahabar.com, BANJARMASIN – Sejumlah dugaan pelanggaran silih berganti muncul menjelang pemungutan suara ulang (PSU) Pilgub Kalimantan…

Featured-Image
Prof Hadin menyayangkan adanya kampanye yang membawa embel-embel Nahdlatul Ulama. Foto ilustrasi santri: Istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN – Sejumlah dugaan pelanggaran silih berganti muncul menjelang pemungutan suara ulang (PSU) Pilgub Kalimantan Selatan (Kalsel) 2020, 9 Juni mendatang.

Terbaru, pelanggaran diduga terjadi di salah satu pengajian. Tepatnya, di salah satu pondok pesantren di Martapura, Kabupaten Banjar.

Secara terang-terangan, dua tokoh agama di sana mendeklarasikan dukungannya ke salah satu paslon yang bakal bertarung ulang di Pilgub Kalsel 2020.

Lantas, apa kata pakar hukum tata negara mengenai keterlibatan tokoh agama tersebut?

Pakar Hukum Tata Negara Kalsel, Muhammad Hadin Muhjad berujar siapapun tokohnya tak dibenarkan lagi berkampanye. Terlebih menjelang momen PSU.

“Itu adalah bentuk pelanggaran,” ujarnya saat bincang ringan dengan bakabar.com.

Hadin turut menyayangkan adanya kampanye yang membawa embel-embel Nahdlatul Ulama (NU).

“NU bukan partai politik. Cuma orang-orangnya ini, kenapa sampai ikutan berpolitik,” katanya.

“Jikalau memang ingin berpolitik, pribadi saja. ‘Baju’ NU tidak boleh dibawa ke ranah politik,” tambahnya.

Apalagi dilakukan di momen PSU tentu saja melanggar aturan pemilu.

“Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus keras,” ujarnya.

Tok! MK Kabulkan Sebagian Gugatan Sengketa Pilgub Kalsel Denny Indrayana

Banyaknya potensi pelanggaran itu tak lepas dari salah tafsir KPU terhadap putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Denny Indrayana.

“KPU yang salah mengartikan putusan MK,” ujarnya.

Harusnya, kata Hadin, PSU bisa segera dilaksanakan KPU. Tak perlu 9 Juni.

Terlalu panjangnya waktu berpotensi menyebabkan banyak pelanggaran terjadi.

“Seharusnya tidak boleh terlalu lama. Ini kan cuma satu tahap, yakni pemungutan suara ulang. Maka KPU harus gerak cepat. Ini kelemahan KPU yang serius. Saya melihatnya mereka terlalu santai,” katanya.

Hadin juga menafsirkan alasan lamanya masa transisi pelaksanaan PSU lantaran MK memandatkan pergantian petugas PPK dan KPPS.

“Harusnya penggantian petugas dilakukan secepatnya agar tidak menciptakan suasana yang tidak kondusif seperti ini,” sambung Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat itu.

Beda hal jika perintah MK adalah pemilihan suara ulang. Maka boleh saja masa pelaksanaannya lama.

“Karena jika pemilihan suara ulang, banyak tahap yang harus dilalui, seperti sosialisasi dan sebagainya. Ini kan hanya pemungutan suara ulang. KPU harus cepat,” ujarnya.

Dalam hal ini, Hadin juga menganggap MK keliru memberikan transisi hingga waktu berlarut.

“Harusnya cukup satu bulan, seperti PSU di Kota Banjarmasin. MK keliru soal ini. Sebab sama saja, walaupun lingkupnya lebih luas, yaitu provinsi, tapi kan petugasnya ada lebih banyak orang,”

Hadin berkesimpulan banyaknya pelanggaran yang terjadi masyarakat tak bisa disalahkan sepenuhnya. Wajar, dalam kancah politik pasti kedua belah pihak ingin menang.

“Mereka kan mau menang. Di sini tinggal Bawaslu yang harus berperan aktif dan tegas,” ujarnya.

Terlepas itu, Hadin mengimbau kepada masyarakat yang berada di zona PSU untuk memilih dengan hati nurani.

“Memilih adalah kebebasan. Jangan mau dipengaruhi,” katanya.

Kembali ke Khittah

Viral Video Guru Wildan, Bawaslu Selidiki Dugaan Kampanye Terselubung

Naiknya suhu politik jelang PSU Pilkada Gubernur Kalsel 9 Juni menimbulkan kekuatiran banyak pihak.

Pemerhati Politik dari Universitas NU Kalsel, HM Syarbani Haira, gundah melihat dinamika politik tersebut.

Syarbani pun mengajak banyak pihak khususnya warga NU untuk tak mudah terprovokasi jelang PSU.

“Apalagi di zaman fitnah yang telah merebak di mana-mana ini. Saya telah secara khusus melakukan komunikasi dengan banyak pihak agar PSU 9 Juni mendatang tak menimbulkan konflik di masyarakat,” ucap ketua Tanfidziah PWNU Kalsel periode 2007-2017 ini.

Syarbani mengaku rajin mendatangi dan bersilaturahmi dengan kelompok yang disebutnya sebagai ‘elite NU’, hingga pimpinan pesantren dan majelis taklim. Misi besarnya semata agar umat jangan terpecah belah karena berbeda pilihan.

“Alhamdulillah, semua ulama dan elite-elite NU sepakat bahwa keharmonisan umat itu prioritas,” tegas ketua Dewan Syuro Masjid Kampus As-Su’ada, Syeikh Abdul Qadir Hasan, Universitas NU Kalsel ini.

Menurut Syarbani, sejak ia masuk jajaran pengurus PWNU Kalsel tahun 1997 hingga sekarang, ia selalu mengumandangkan spirit tawasuth, tasamuh dan tawazun di kalangan warga nahdliyin.

“Sikap tawasuth adalah sikap moderat atau tidak ekstrem ‘kiri’ maupun ‘kanan’. Tasamuh bersikap baik, lemah lembut dan pemaaf. Tawazun adalah berkeseimbangan, selalu di jalan tengah,” jelasnya.

Itu, kata dia, adalah sebagian dari doktrin paham ahlus as-sunnah wal-jamaah yang kemudian diadopsi oleh NU sebagai sikap politik dan sikap bermasyarakat.

Jika ini dihayati dengan baik oleh semua pimpinan, aktivis dan jemaah NU, tentu mereka tak akan larut dalam emosional dukungan pilihan politik.

Masyarakat, khususnya warga NU Kalsel, kata Syarbani, pasti bisa hidup damai berdampingan.

Terlebih, jika paham-paham dan ajaran NU bisa diterapkan dengan baik meski terdapat perbedaan pilihan politik saat PSU mendatang.

“Jika hingga hari ini ada perbedaan pandangan di akar rumput, maka itu tugas elitenya yang mencerahkannya,” sambungnya.

“Jangan sampai elite- NU malah ikutan memprovokasi umatnya, yang kesadaran politiknya masih berfluktuasi,” ujarnya.



Komentar
Banner
Banner