bakabar.com, BANJARMASIN – Hingga pekan terakhir Agustus 2022, harga telur ayam di Kalsel mengalami kenaikan.
Jika sebelumnya di Pasar Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut harga telur ayam di kisaran Rp31 ribu, kini di Banjarmasin sudah menyentuh Rp32 ribu per kilogram.
Harga ini mengalami kenaikan jika dibandingkan pekan lalu saat di pasaran telur ayam Rp29-30 ribu per kilogram.
Meski terus merangkak naik, Kepala Dinas Perdagangan Kalimantan Selatan Birhasani mengklaim stok telur ayam justru mengalami surplus dan stoknya stabil.
Suplai telur di Kalsel, kata dia, saat ini per hari minimal ada 175 ton, dihitung per bulan total ketersediaan sekitar 5.425 ton. “Kebutuhan Kalsel hanya sekitar 3.500 ton per bulan, berarti surplus,” ujar Birhasani.
Ketersediaan itu, jelasnya, belum dihitung distribusi telur dari Jawa Timur yang masuk ke Kalsel.
Maka, kata dia, sebagian telur itu disalurkan ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
“Kalau harga memang sejak bulan puasa (April 2022) hingga sekarang di kisaran Rp28 ribu – Rp30 ribu. Kalau stoknya banyak saja,” ungkapnya.
Sebelumnya, kata dia, harga terendah sebelum Ramadan 2022 berada di kisaran Rp26 ribu-Rp28 ribu.
Saat harga tidak menentu seperti ini, kata dia, biasanya para pedagang tidak menyimpan stok yang banyak, karena takut harga tiba tiba turun.
“Memang telur tidak bisa disimpan lama, karena akan rusak. Jadinya pedagang tidak mau nyetok banyak karena takut rugi,” ujarnya.
Melimpahnya telur dari peternak dan distributor, kata dia, di satu sisi memudahkan para pedagang untuk mendapatkan persediaan jualan.
“Jadi, stok di pedagang sedikit bukan berarti ketersediaannya yang bermasalah,” jelasnya.
Berdasarkan data harga pangan nasional, nilai jual telur di pasar tradisional per 26 Agustus di Pasar Antasari Banjarmasin Rp29 ribu.
Di Pasar Tanjung Tabalong Rp30.500, dan di Pasar Kemakmuran Kotabaru Rp35 ribu.
Sejak awal bulan lalu, harga telur di tiga pasar tersebut stabil tinggi di kisaran harga tersebut.
Birhasani mengklaim kenaikan harga itu bukan disebabkan stok telur ayam kurang. “Ini merupakan dampak dari biaya produksi yang naik,” tukas Birhasani.