bakabar.com, BARABAI – Kuasa Hukum atau Penasehat Hukum (PH) terdakwa Nasruddin si nabi palsu di Hulu Sungai Tengah (HST), melayangkan keberatan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Penolakan itu disampaikan Akhmad Gazali Nor, PH Nasrudin, melalui pleidoinya di depan majelis yang dipimpin Hakim Ketua, Eka Ratna Widiastuti di Pengadilan Negeri (PN) Barabai, Kamis (23/4).
“Kami keberatan dan meminta hakim untuk menolak surat tuntutan (JPU) itu,” kata Gazali ditemui bakabar.com usai sidang ketujuh itu.
Gazali menilai, terdakwa Nasruddin tak bisa dijatuhi pidana, seperti tuntutan jaksa, yakni hukuman 3 tahun penjara karena melakukan tindak pidana atau melanggar Pasal 156 huruf a.
Ditegaskan Gazali, berdasarkan keterangan Ahli Kejiwaan dari RS H Hasan Basry Kandangan, Sofyan Saragih menyebutkan, terdakwa mengalami ganggun jiwa berat kategori Waham.
Atas dasar itu, lanjut Gazali, perbuatan terdakwa tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Hal itu mengacu pada Pasal 44 KUHP.
“Artinya yang bersangkutan (terdakwa) tidak bisa dipidana. Terdakwa ini harus direhab di rumah sakit jiwa. Entah di Sambang Lihum atau lainnyan,” terang Gazali.
Sementara itu, JPU Prihanida Dwi Saputra akan memberikan tanggapan atau replik atas pembelaan PH terdakwa pada sidang beriktutnya.
Rencananya, sidang akan digelar Selasa 28 April nanti dengan agenda replik.
“Sesuai Pasal 182 Ayat 1 KUHAP, kami akan memberikan Jawaban. Akan kami siapkan materinya,” tutup jaksa yang biasa dipanggil Mas Han ini, dihubungi bakabar.com.
Terkait gangguan jiwa berat yang dialami terdakwa, saksi ahli dari Rumah Sakit Hasan Basry Kandangan, Dokter Sofyan Saragih telah memberikan keterangannya di persidangan, Kamis (9/4) lalu.
Dalam keterangan Saragih, terdakwa mengalami gangguan jiwa berat. Namun bukan gangguan jiwa seperti yang dibayangkan.
Saragih menegaskan, terdakwa mengalami suatu kondisi yakni, waham menetap. Terdakwa mengalami gejala itu sudah cukup lama.
Waham itu dikenal sebagai 'persistent delusional disorder' yang merupakan gangguan mental yang jarang ditemukan dengan waham sebagai satu-satunya gejala utamanya.
"Secara memori dia (terdakwa) bagus, normal, mampu berfikir jernih. Kecuali dalam hal keyakinan. Di luar itu, dia normal," kata Sofyan saat diperiksa keterangannya pada sidang kelima di PN Barabai Kelas II waktu itu.
Waham menetap itu, terang Saragih, merupakan suatu keyakinan yang tidak wajar, tidak realitis, tidak bisa dikoreksi/digoyahkan, sangat diyakini dan tidak menganut pada pemahaman budaya ataupun spiritual lingkungan setempat.
"Jadi bagaimanapun upaya orang disekitar mengatakan sesuatu itu tidak benar, dia (terdakwa) tidak goyah. Dia tetap pada keyakinannya," terang Sofyan yang telah mengobservasi kejiawaan terdakwa sejak 9 Desember 2019-4 Januari 2020 lalu.
Waham menetap ini pun, kata Saragih, konsisten permanen.
"Jadi walaupun diobati, itu hanya mengurangi tidak menghilangkan. Namun juga tidak menutup kemungkinan disembuhkan. Tergantung kepatuhan orangnya," terang ahli kejiwaan yang dihadirkan jaksa ini.
Saat di persidangan yang agendanya menghadirkan saksi ahli, saksi meringankan dan eksepsi saat itu, Saragih mengusulkan agar terdakwa diisolasi di ruang terpisah dari tahanan lain.
Sebab, waham yang diderita terdakwa, terlebih tentang faham atau kepercayaannya yang diyakininya, bisa menginduksi (menularkan) ke orang lain.
"Kalau memang keputusan hakim nantinya dipenjara, sebaiknya diisolasi di ruang khusus," tutup Saragih.
Reporter: HN Lazuardi
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin