bakabar.com, BANJARBARU - "Proklamasi, merdeka. Dengan ini kami rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan, mempermaklumkan berdirinya pemerintahan Gubernur Tentara dari ALRI melingkungi seluruh daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Republik Indonesia untuk memenuhi isi Proklamasi 17 Agustus 1945 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hal-hal yang bersangkutan dengan pemindahan kekuasaan akan dipertahankan dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetes darah yang penghabisan. Tetap Merdeka."
Itulah proklamasi yang diucapkan Brigadir Jenderal Hasan Basry tertanggal 17 Mei 1949 silam.
Proklamasi 17 Mei 1949 adalah sebuah awal dari terbentuknya pemerintah Gubernur Tentara ALRI di Kalimantan.
Setelah rapat lengkap di Ilung, Kandangan (kini Kabupaten Hulu Sungai Selatan) Februari 1949, sangat terasa wilayah kekuasaan bertambah luas.
Meskipun telah dibentuk markas-markas daerah yang baru dan markas pangkalan untuk mengisi kekosongan pemerintahan yang telah ditinggalkan oleh Belanda, namun menimbulkan pemikiran di kalangan anggota pimpinan markas besar ALRI untuk mengaturnya menurut tata pemerintahan sipil.
Karena mereka mengaku sebagai alat pemerintah Republik Indonesia, maka daerah ini haruslah berada di bawah pemerintahan Indonesia.
"Menurut Romansi, dalam surat menyurat antara Hasan Basry, H Aberanie Sulaiman dan Gusti Aman sesudah reorganisasi ALRI bulan Februari 1949 itu amat banyak membicarakan tentang wilayah kekuasaan dan cara mengatur rakyat," terang sejarawan Kalimantan Selatan, Mansyur, Kamis (16/5).
Sejak konsolidasi markas daerah dan pangkalan-pangkalannya di daerah Selatan oleh Budhigawis, maka markas daerah berkisar dari tengah ke daerah selatan (Kandangan).
Alasan terpenting dari perkisaran ini adalah untuk mendekati pusat pemerintahan dan kekuasaan militer Belanda di Hulu Sungai serta mempermudah hubungan dengan pangkalan di daerah Martapura, Banjarmasin yang sudah teratur.
Pimpinan Umum berkedudukan di Niih, di sebelah Timur sejauh satu hari berjalan kaki dari Kandangan. "Sebagian anggota Markas besarnya di Malutu dan Padang Batung," tutur sejarawan muda Uviversitas Lambung Mangkurat itu.
Di Markas daerah Malutu inilah pada tanggal 3 Mei 1949 Gusti Aman dalam pembicaraannya dengan P Arya (Munir) dan Budhigawis mengemukakan pertanyaan, bahwa rakyat di luar kota distrik (kota kewedanan) sebenarnya mengakui kekuasaan de facto ALRI, Kepala Markas Daerah dan Kepala Markas Pangkalan yang telah diangkat pada umumnya ditaati rakyat.
Sedang P Arya dalam pembicaraan itu perlunya menyempurnakan ekonomi rakyat melalui organisasi koperasi. Kenyataan ini merupakan hasil dari penyempurnaan organisasi ke dalam seperti yang tercantum dalam arah dan garis perjuangan hasil rapat di Ilung tersebut.
Mansyur menuturkan, menjelang bulan April 1949 markas daerah Riam Kiwa selesai mengadakan konsolidasi dan direncanakan pertemuan dengan PU ALRI Divisi IV di Hulu Sungai.
Maksud tujuan pertemuan ini adalah untuk membicarakan rencana-rencana perluasan perjuangan bersenjata ke bidang politik sosial dan ekonomi, agar wilayah Kalimantan Selatan dapat dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia.
Kemudian pada bulan Mei 1949 rombongan PS 14 Riam Kiwa yang terdiri dari Gusti Aman, P Arya tiba di kota Seribu Daya yang meliputi wilayah perkampungan Pagar Haur, Jelatang, Durian Rabung dan Padang Batung.
Di sinilah berpusat Markas Besar ALRI Divisi IV --antara Pagar Haur dan Durian Rabung terdapat markas daerah, markas perbekalan, Markas Direktorat Perjuangan dan Markas Komisariat Perjuangan.
Dalam rangka rencana pembentukan rencana pemerintahan militer untuk mengatur wilayah yang luas ini, Kepala Staf H Aberanie Sulaiman telah menerima perintah dari Pimpinan Umum Markas Besar ALRI Divisi IV, yang tembusannya juga diterima oleh Gusti Aman.
Panitia yang dibentuk oleh H Aberanie Sulaiman itu dilengkapi dengan Gusti Aman sebagai wakil, Hasnan Basuki sebagai Sekretaris dan Munir (Pangeran Arya) sebagai anggota merangkap bendahara sementara.
Rapat pertama berlangsung di Durian Rabung dipimpin oleh wakil ketua untuk mempersiapkan rapat lengkap, dengan diusahakan kehadiran komandan sektor, termasuk pimpinan senior.
Pembicaraan sehubungan dengan ini berlangsung lagi yang kemudian dipimpin oleh H Aberanie Sulaiman dan dihadiri oleh Hasnan Basuki, Budhigawis, Daeng Ladjida, H. Damanhuri, Gusti Aman dan Maxim Le Miaty (Pangeran Arya-Munir).
"Dalam pertemuan ini H Aberanie Sulaiman menerangkan kepada rombongan PS 14 Riam Kiwa tentang struktur organisasi ALRI Divisi IV Jawa dan cabang-cabangnya di Kalimantan," papar Mansyur.
"Dalam rapat itu juga dibicarakan tentang memperluas perjuangan bersenjata ke dalam bidang-bidang politik dan ekonomi, meskipun rumusan tentang cara perluasan yang dimaksud belum dicapai dengan cepat," tambahnya.
Selanjutnya pada tanggal 2 Mei 1949 diadakan rapat staf markas besar yang diikuti oleh Hassan Basry dan H Aberanie Sulaiman, Gusti Aman, Budhigawis, Pangeran Arya, Hasnan Basuki, H Damanhuri, Setia Budi, R Sukadani, Daeng Ladjida dan beberapa orang lagi bertempat di rumah H Abdul Kadir di Desa Durian Rabung, Padang Batung.
Ketika rapat sedang membicarakan rancangan susunan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, datanglah serangan militer Belanda dari jurusan Karang Jawa dan Jambu. Sementara pasukan pengawal berusaha menahan musuh, peserta rapat mengundurkan diri ke arah timur.
Keesokan harinya, sampai di Pagat Batu, rombongan markas besar dibagi tiga bagian sebagai siasat untuk menghindari serangan ulang dari Belanda.
Sebelum rombongan berpisah, pimpinan umum mengamanatkan agar segala sesuatu yang telah direncanakan di Padang Batung itu diteruskan pembicaraannya di mana saja berada.
"Kelompok pertama terdiri dari Pimpinan Umum Hasan Basry menuju Niih, kelompok kedua terdiri dari Kepala Staf H Aberanie Sulaiman beserta Budhigawis menuju Kalinduku dengan tujuan seterusnya ke Telaga Langsat dan Haruyan," jelas Mansyur.
"Sedangkan kelompok ketiga terdiri dari Gusti Aman yang dikenal dengan tugasnya sebagai korektor susunan bersama P Arya, dan Hasnan Basuki menuju Mandapai dengan tujuan selanjutnya Telaga Langsat dan Haruyan," imbuhnya.
Daeng Ladjida, Setia Budi dan R Sukadani bertugas mengkonsolidasikan yang terpecah sesudah terjadinya pertempuran dengan Belanda, dan menyiapkan serangan langsung ke Kota Kandangan.
Di Kalinduku, H Aberanie Sulaiman bersama Budhigawis mengeluarkan sebuah pengumuman berisi larangan kepada orang yang akan pergi haji ke Makkah.
Tujuan dari larangan ini untuk membuktikan kepada dunia luar, bahwa di Kalimantan ada gerilya bersenjata ALRI Divisi IV yang lebih berkuasa lagi dari Pemerintah Belanda, dan yang kedua adalah agar uang rakyat jangan mengalir ke Pemerintah Belanda.
Pengecualian dari pengumuman ini adalah diberikan kepada H Abdul Hadi yang pergi ke Makkah untuk membawa laporan tentang perjuangan ALRI Divisi IV yang dialamatkan kepada Wakil RI di Saudi Arabia, Dokter H Rasyidi dan diteruskan kepada Wakil RI di PBB.
Dalam musyawarah selanjutnya dilangsungkan di Ambutun dengan jumlah anggota musyawarah berkurang karena H Damanhuri, Budhigawis dan Hasnan Basuki tidak hadir.
"Dalam musyawarah Ambutun ini disetujui kemungkinan untuk membentuk pemerintahan sendiri dipimpin oleh seorang Gubernur Tentara. Rapat diadakan di sebuah rumah antara kampung Ambutun dan Telaga Langsat," katanya.
Pada rapat itu Maxim Le Miaty alias P Arya ditugaskan membuat surat kepada delegasi pemerintah RI di Jakarta dan laporan kepada MPK Divisi IV di Jawa, tanpa mengetahui bahwa jabatan Gubernur Kalimantan dan MPK ALRI Divisi IV telah dibubarkan.
Laporan itu berisi tentang pembentukan pemerintahan darurat dan kepada pemerintah republik diminta untuk mengakui ALRI Divisi IV sebagai pejuang RI dan gerilyanya sebagai gerilya RI, dan juga diusulkan supaya RI mengusahakan supaya tentara KNIL dan KL (Koninklijke Leger) ditarik dari Kalimantan Selatan.
Selanjutnya, tombongan pimpinan umum menuju Niih, dan kedua rombongan lainnya setelah berpisah bertemu di telaga Langsat (nama samarannya Ambarawa). Atas petunjuk Kepala Markas Pangkalan Rasyidi, mereka menempati rumah Dumam yang terletak kira-kira 100 meter dari jalan di anak kampung Limau Gampang.
Di sinilah permusyawaratan selanjutnya yang diikuti oleh H Aberanie Sulaiman, Budhigawis, P Arya, Gusti Aman, Hasnan Basuki dan Romansi. Perundingan di kota Ambarawa ini dikawal ketat oleh pasukan Setia Budi dan Ibnu Hadjar.
Pada setiap peristiwa penting dalam kancah perang gerilya, Ibnu Hadjar selalu setia mengawal Hasan Basry. Rapat ini pada tanggal 15 Mei 1949 berhasil merumuskan struktur pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Gusti Aman mengusulkan agar pembentukan pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV ini dalam bentuk satu Proklamasi 17 Mei. Penyusunan teks awalnya ditugaskan kepada P Arya kemudian disempurnakan lagi bersama.
Agar lebih keras lagi isinya sebagai kalimat penutup, H Aberanie Sulaiman menambahkan kata-kata "Dan jika perlu diperjuangkan sampai tetesan darah yang penghabisan".
Konsep asli ditulis dengan huruf-huruf balok dan menggunakan tinta merah. Konsep asli ini disimpan oleh Gusti Aman dan hilang ketika Gusti Aman (dibelakang hari) ditahan oleh gerombolan Ibnu Hadjar. Perbanyakan konsep ini ditandatangani kemudian oleh Pimpinan Umum Hasan Basry, dianggap sebagai lembaran yang asli.
Rapat di Ambarawa (Telaga Langsat) itu mengeluarkan beberapa putusan. Pertama, memproklamasikan Pemerintah Gubernur Tentara guna mengatasi masalah politik, tata pemerintahan dan masyarakat.
Kemudian mengatur ekonomi dengan mendirikan koperasi-koperasi dan koperasi terpusat dengan tujuan merubah struktur ekonomi kolonial ke perekonomian revolusioner.
Terakhir, menembus tirai besi NICA agar perjuangan di Kalimantan dapat didengar dan di ketahui oleh Republik Indonesia dan dunia.
Hulu Sungai sudah tidak menjadi persoalan lagi, karena seluruhnya dapat dikatakan sudah dapat dikuasai sepenuhnya. Hulu Sungai dijadikan modal perjuangan selanjutnya bagi daerah-daerah lain.
Kota-kota yang diduduki Belanda diblokade sehingga bahan makanan dan bahan-bahan yang dihasilkan rakyat tidak masuk kota. Yang masih mengalir ke kota-kota hanyalah barang-barang impor yang dilakukan Belanda.
Pasar-pasar menjadi sepi dan sebagian besar toko-toko menutup pintu. Sebagian besar penduduk kota mengungsi ke luar kota, menetap di daerah yang dikuasai ALRI. Di kampung-kampung dan di hutan-hutan dibuka pasar-pasar baru guna menampung hasil rkyat.
Bahan makanan dan lain-lain mengalir ke pasar-pasar baru ini dan jual beli dilakukn dengan mata uang sementara yang dikeluarkan oleh ALRI (Uang ALRI).
Modal kekuatan dan kekuasaan inilah yang menambah keyakinan dan dorongan untuk menyempurnakan langkah-langkah perjuangan. Dengan modal ini pula dicetuskan sebuah proklamasi menurut program hasil musyawarah Markas Besar ALRI Divisi IV.
Pada malam hari, 15 ke 16 Mei 1949 selesailah teks proklamasi itu dan ditik oleh Romansi. Pada Sabtu tanggal 16 Mei 1949, kira-kira pukul 10.00 pagi dibuatlah proses verbal mengenai musyawarah dan laporan rumusannya, ditanda tangani oleh H Aberanie Sulaiman, Budhigawis, Maxim Le Miaty dan Romansi.
Pada hari itu pula Gusti Aman, Maxim dan Hasnan Basuki ditugaskan untuk membawa dokumen tersebut kepada Pimpinan Umum Hasan Basry di Niih. Tempat di mana ia berada dan hanya diketahui oleh Hasnan Basuki.
Masih 16 Mei 1949 kira-kira pukul 17.00 Wita, rumah persembunyian Hasnan Basuki dapat ditemukan di Jambu Hulu, di rumah Guru Idar. Rombongan bermalam satu malam tempat itu. Baru keesokan harinya (17 Mei) mereka berangkat ke Hulu Banyu, melewati Lumpangi, Batantangan dan tiba di Niih menjelang Magrib.
Selanjutnya rombongan bertemu dengan Pimpinan Umum Hasan Basry dan ajudannya Tobelo di Niih. Rombongan menyerahkan dokumen kepada Hasan Basry. Setelah mendapat persetujuan dari pimpinan umum, naskah Proklamasi 17 Mei ditandatangani oleh Hasan Basry sebagai Gubernur Tentara.
Proklamasi 17 Mei tersebut kemudian dibacakan oleh Pimpinan Umum Hasan Basry dalam suatu upacara di Mandapai yang di hadiri oleh pasukan penggempur, anggota Markas Pangkalan terdekat dan masyarakat setempat. Berita proklamasi ini disebarkan dalam bentuk pamflet ke seluruh daerah.
"Dengan mengingat proses pembentukannya, maupun isi dari teks proklamasi 17 Mei 1949 itu, maka nyatalah bahwa dasar dan tujuan proklamasi tersebut menurut pendapat saya adalah untuk menyatakan kebulatan hati rakyat untuk merealisasikan kekuasaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan," papar Mansyur.
Kemudian tanggal 19 Desember 1948 Dr Beel sebagai wakil tinggi mahkota sudah menyatakan tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville, sehingga mengambil tindakan semaunya terhadap Republik Indonesia.
"Jadi secara objektif timbul lah kebebasan kedua belah pihak untuk memperebutkan de facto di seluruh Indonesia," ujarnya.
Menurut Mansyur, gerilya rakyat di Kalimantan Selatan yang dipelopori oleh ALRI Divisi IV itu ternyata mampu menghidupkan desa-desa republik dan kecamatan republik dengan mengusir atau membekukan alat kekuasaan Belanda di tempat tersebut.
Selanjutnya bentuk pemerintahan yang sesuai dengan situasi perjuangan adalah pemerintahan militer dengan pimpinan Gubernur Tentara.
Lalu supaya rakyat benar-benar menyadari bahwa pemerintahan Belanda adalah pemerintahan pendudukan asing yang harus dibasmi. Karena menurutnya, rakyat sudah mempunyai pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat dan kemerdekaan.
"Adanya pimpinan perjuangan berbentuk pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Tentara ALRI Divisi IV, lebih meyakinkan rakyat akan berlakunya tertib hukum, ekonomi, kejujuran dan keadilan, sebagaimana lazimnya dalam suatu pemerintahan," tutup Mansyur.