Borneo Hits

Sejarah Jumat Kelabu Kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin

Konflik dan kerusuhan sosial meledak di pelbagai kota di Indonesia pada Mei 1997 silam. Termasuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Featured-Image
Makam korban Jumat Kelabu di Landasan Ulin, Liang Anggang Banjarbaru. Foto: bakabar.com/Hasan

bakabar.com, BANJARBARU - Konflik dan kerusuhan sosial meledak di berbagai kota di Indonesia terjadi sepanjang Mei 1997 silam. Termasuk di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Sebelum kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin, tercatat beberapa peristiwa serupa sejak 1995. Di antaranya bernuansa agama maupun sosial seperti di Purwakarta (31 Oktober 2 November 1995), Pekalongan (24 November 1995), Jakarta (27 Juli 1996), Situbondo (10 Oktober tahun 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Sanggau Ledo (30 Desember 2 Januari 1997), Tanah Abang (28 Januari 1997).

Kemudian di Rengasdengklok (31 Januari 1997), Karawang 1997, lalu Mei 1998 yang terkenal dengan nama Tragedi Mei di Jakarta, Solo, Surabaya, Palembang dan Medan.

Peristiwa itu menandai jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang diawali krisis moneter. Imbasnya nilai rupiah merosot terhadap mata uang dolar.

Keadaan ini diperburuk pula ketika menjelang Pemilu 1997. Di mana-mana terjadi kekacauan. Di Jakarta banyak kerusuhan yang bernuansa politik hingga suasana di daerah-daerah terbawa arus yang mencekam. Kerusuhan terjadi Ciputat, Kebayoran Lama, Tangerang, Bekasi, Bangil dan Banjarmasin.

Kerusuhan di Banjarmasin kemudian dikenal sebagai Tragedi Jumat Kelabu, karena menimbulkan ratusan jiwa manusia, harta benda, gedung dan perumahan yang dibakar massa yang sedang kalap.

Kejadian tersebut tidak terduga. Semuanya bermula dengan kampanye putaran terakhir Partai Golkar yang bertepatan dengan hari Jumat.

Menurut rencana kegiatan kampanye Partai Golkar di Banjarmasin dilaksanakan besar-besaran dan dihadiri Menteri Sekretaris Kabinet, H Syadillah Mursyid, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Hassan Basri.

Kerusuhan berawal ketika massa Golkar pawai menuju tempat kampanye di Lapangan Kamboja melewati jalan di depan Masjid Noor yang biasa ditutup, karena digunakan oleh sebagian jemaah salat Jumat.

Raungan sepeda motor yang melintasi jalan di saat jemaah belum selesai melaksanakan salat jumat memicu kemarahan warga.

Warga yang merasa dilecehkan serta merta menyerbu dan mengejar yang berpawai, membubarkan mereka yang berkumpul di Lapangan Kamboja dan membakar atribut Golkar.

Peserta kampanye --tidak peduli laki-laki atau perempuan yang mengenakan baju atau kaos kuning, dipaksa melepaskan pakaian di bawah ancaman senjata tajam, seperti clurit, golok dan sebagainya.

Setelah memorak-porandakan peserta kampanye, massa yang brutal dan tak terkendali mengalihkan sasarannya kepada bangunan kantor, rumah ibadah, toko, tempat hiburan, hotel dan sebagainya.

"Mereka melempari kaca-kaca, membakar mobil dan bangunan serta menjarah isi toko dan supermarket," papar sejarawan Kalimantan Selatan, Mansyur.

"Kejadian itu berlangsung dari pukul 13.00 sampai dengan pukul 20.00 Wita. Selama kejadian tersebut, pihak keamanan seakan tak berdaya," tambahnya.

Tragedi Jumat Kelabu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Kerugian dari segi harta benda tercatat 21 mobil terbakar dan 12 rusak, serta 60 sepeda motor terbakar dan 4 rusak.

Kemudian 12 kantor instansi pemerintah dan bank rusak terbakar, demikian pula 10 pertokoan dan tempat hiburan, ditambah 5 tempat ibadah dan beberapa sekolah.

Lalu panti jombo serta rumah penduduk terbakar, sehingga sekitar 400 kepala keluarga kehilangan tempat berteduh dan sekitar 4.000 karyawan kehilangan pekerjaan.

Korban jiwa juga tidak sedikit. Tercatat 135 korban meninggal, 164 orang hilang, dan lebih dari 100 orang luka-luka. Belum termasuk mereka yang ditahan sebanyak 304 orang untuk menunggu proses selanjutnya.

"Banyaknya selisih antara jumlah korban meninggal atau korban dilaporkan hilang itu terjadi karena korban yang meninggal sebagian besar tidak dapat lagi dikenali karena hangus terbakar," terang Mansyur.

Peristiwa 23 Mei 1997 ini sangat menggores perasaan masyarakat Kalimantan Selatan, karena sepanjang pemerintahan Orde Baru tidak pernah terjadi unjuk rasa yang anarkis apalagi sampai meminta korban jiwa manusia.

Kejadian ini semakin melemahkan posisi pemerintahan Orde Baru, karena di beberapa daerah yang selama ini dinilai aman ternyata mengalami kejadian yang luar biasa.

"Musuh-musuh Orde Baru menjadikan peristiwa tersebut sebagai reaksi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat selama ini," ujar Mansyur.

"Parahnya, kasus ini sampai sekarang tidak terungkap dengan jelas siapa pelaku yang bertanggung jawab," timpalnya.

Pada versi lain dituliskan korban tewas pada kerusuhan ini mencapai 320 orang dan banyak pula yang menderita luka parah.

Selain korban meninggal, ada juga 199 korban yang belum ditemukan dan dinyatakan hilang. Dalam konflik ini, kerugian materi juga tidak kalah banyak.

Yakni seperti ratusan rumah dibakar, gedung-gedung pemerintahan seperti Gedung PLN cabang Banjarmasin, Kantor Kanwil Depsos Kalimantan Selatan, Kantor PDAM, Kantor Pegadaian, BDN, Bank BRI, Bank Lippo, Bank Danamon, panti, Gereja Protestan HKBP, sekolah, Gereja Katolik, hotel, swalayan, apotek, Rumah Jompo, sarana hiburan, mobil dan sepeda motor yang dibakar dan hancur hancur dirusak massa.

Sebelumnya, beberapa wilayah sudah digoncang oleh kerusuhan yang bernuansa SARA. Namun, peristiwa Jumat Kelabu yang sempat menarik perhatian nasional dan internasional ini segera terlupakan dan seperti dianggap tidak ada.

Hal ini disebabkan neberapa faktor. Pertama, peristiwa itu dianggap sebagai musibah biasa saja. Kemudian masih kuatnya represi membuat sebagian besar saksi mata tidak berani buka mulut.

"Bahkan untuk melaporkan anggota keluarga yang hilang pun mereka takut," tuturnya.

Terlebih ketika itu ada stigma yang kuat bahwa mereka yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah para perusuh. Demikianlah, peristiwa itu dibenak masyarakat seperti ingin segera dilupakan dan menjadi berbahaya untuk diingat.

Selanjutnya, setahun setelah peristiwa itu menjadi ujung dari berbagai rentetan kerusuhan di berbagai kota di Indonesia itu terjadi reformasi yang memakzulkan rezim Presiden Soeharto.

Peristiwa reformasi yang skala dan dampaknya memang lebih besar ini, akhirnya menutup habis ingatan akan peristiwa kerusuhan sosial yang terjadi di berbagai daerah.

Termasuk peristiwa Jumat Kelabu, fokus perhatian kemudian beralih ke pentas nasional.

"Bagaimanapun juga peristiwa itu pernah terjadi, tidak bisa dilupakan begitu saja dan harus menjadi pelajaran. Meledaknya kerusuhan di Kota Banjarmasin sebagai situs kerusuhan tentu juga didukung oleh keadaan sosial yang tidak kondusif," papar sejarawan ULM ini.

Cerita tentang kerusuhan Jumat Kelabu di Banjarmasin kala itu menggambarkan salah satu dari serentetan konflik di berbagai daerah di Indonesia yang terjadi.

Isu yang menonjol dalam cerita ini sebenarnya adalah kerusuhan yang berakar pada kekecewaan masyarakat pada prestasi kerja politik dan ekonomi Orde Baru selama ini.

"Dengan kata lain, kerusuhan itu merupakan akibat dari reaksi masyarakat terhadap kekerasan yang mereka alami selama ini."

"Namun, kerusuhan atau konflik yang terjadi juga mampu menghasilkan dua dampak sekaligus yaitu konstruktif dan deskruktif. Sehingga tidak selamanya negatif jika kiranya dilakukan penaganan yang tepat terhadap konflik," katanya.

Manurut mansyur, jerusuhan yang terjadi di Kalimantan Selatan khususnya di Banjarmasin itu boleh dikata mengejutkan.

Karena terjadi di kota yang selama ini digambarkan rukun, harmoni, religius dan kaya akan budaya lokal (local wisdom) masih terjaga hingga sekarang.

Editor


Komentar
Banner
Banner