bakabar.com, JAKARTA – Pintu Starbucks Tata Puri terbuka, tanda pelanggan masuk. Feby Widyaputri (28), menyambut dengan senyuman hangat. Alih-alih berkata selamat datang, dirinya menyapa dengan lambaian tangan – ya, dia adalah tunarungu.
Meski menyandang keterbatasan pendengaran, wanita berambut sebahu itu mengaku senang bisa menjadi barista di toko gerai kenamaan. Pun tak dapat ditampik, kesulitan turut menyertai kariernya saat baru memulai.
“Awalnya susah banget kerja mengikuti tahapan (urutan membuat kopi -red). Tapi, aku enggak menyerah karena aku tahu mencari pekerjaan itu sulit,” katanya menggunakan bahasa isyarat kepada bakabar.com di Jakarta, Selasa (13/12).
Ya, lapangan pekerjaan bagi difabel di Indonesia, boleh dibilang, memang masih belum merata. Padahal, pemerintah sudah menerapkan UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, di mana mewajibkan penyedia kerja memberikan kuota satu persen bagi difabel.
Baca Juga: Sejarah Bantal Guling dalam Kisah 'Gundik Tak Berkentut'
Kebijakan demikian bahkan diperkuat dengan UU Penyandang Disabilitas yang disahkan pada 2016 lalu. Sayangnya, beleid itu hanya sebatas hitam di atas kertas; masih sedikit perusahaan yang mengetahui aturan tersebut.
Namun, lain halnya dengan PT Sari Coffee Indonesia, yang justru secara khusus membuka gerai Strabucks Signing Store. “Baristanya adalah teman-teman tuli. Kita memberikan juga peluang untuk teman-teman tuli berinteraksi dengan sesama teman tuli,” ujar Project Leader, Kiki.
Ada Tantangan Tersendiri
Tentu tak sembarang orang bisa menjadi barista Starbucks Signing Store. Dengan bantuan Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin), didapat sederet nama calon barista yang lantas diseleksi sedemikian rupa.
Range usia mereka pun beragam, mulai dari 20-an tahun hingga kepala tiga. Selain merekrut tunarungu, gerai tersebut juga mempekerjakan ‘teman dengar’; utamanya untuk mendampingi teman tuli, manakala mereka mengalami kendala.
Mereka yang terpilih pun tak serta merta bekerja, melainkan mesti mengikuti pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan itu, salah satunya, ialah mempelajari bahasa isyarat – mengingat perbedaan bahasa antara teman tuli dan dengar perlu disamakan.
“Belajar sama Gerkatin dan Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo), sekitar bulan Juni sampai Juli,” ungkap Store Manager, Farah, yang merupakan teman dengar.
Wanita berusia 32 tahun itu mengaku mulanya merasa tertantang dengan tawaran bekerja di Starbucks Signing Store. Dia tak memungkiri bahwasanya mempelajari bahasa isyarat tidaklah mudah, mengingat tata bahasa dalam budaya tuli berbeda dengan budaya dengar.
Senada dengan itu, Kiki juga menilai belajar bahasa isyarat cukup dipenuhi tantangan. Terlebih lagi, guru yang mengajarkan bahasa ini adalah teman tuli, sehingga dirinya serta teman dengar lain tak bisa bertanya langsung.
Ditunjang Fasilitas Tambahan
Tak cuma teman dengar, teman tuli pun sempat mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pelanggan. “Awalnya kesulitan masalah komunikasi, tapi untungnya sekarang ada writing tablet,” tutur Feby.
Demi bisa mengatasi masalah komunikasi, Kiki mengeklaim sudah mengantisipasinya sedari awal. Sebab itulah, Starbucks Signing Store menyediakan tablet agar para pelanggan dapat menulis pesanan dan nama sendiri.
“Kita juga sudah siapkan sistem antrian yang bisa dilihat di layar,” tambahnya.
Mendapat Sambutan Positif
Kiki mengatakan, konsep Starbucks Signing Store yang demikian, berhasil menuai respons positif dari masyarakat. Ke depan, pihaknya akan terus mengevalusasi kinerja gerai ini dari berbagai aspek.
“Kita masih pada tahap mempelajari bagaimana flow kerja. Kita ingin lebih berfokus untuk memperkuat apa yang sudah kita miliki di Starbucks, kita improve hal-hal yang lain,” pungkasnya.