Rezeki, jodoh, maut siapa yang tahu. Begitu pun nasib Nurul Kasyfita. Tadinya dari Samarinda dengan niat menimba ilmu di Auckland, malah mendapat jodoh di salah satu kota New Zealand tersebut.
Musnita Sari, BANJARMASIN
Memutuskan tinggal di luar negeri dan berpisah dengan keluarga tercinta adalah pilihan yang berat. Sudah tujuh tahun Nurul Kasyfita (39) tidak pulang ke Indonesia.
Setiap bulan Ramadan tiba jadi puncak rasa rindunya pada kampung halaman.
"Kangen saja suasana Ramadan di Indonesia, di sini gak ada yang jualan es buah atau takjil. Jadi bikin sendiri deh makanan yang di kangenin atau sering-sering ikut bukber sesama orang Indonesia. Apalagi kalau kedutaan yang ngadain, wah makmur perut," ujarnya kepada bakabar.com, tempo hari.
Baca Juga: Puasa di "Negeri Tercepat", Husniaty Terkendala Rindu
Tadinya ia kuliah di Auckland sambil kerja. Awal datang single. Alhamdulillah, kata Nurul, berjodoh dengan orang muslim New Zealand.
Tinggal di New Zealand terkenal dengan durasi tersingkat berpuasa. Namun karena tuntutan karier, beberapa kali ia juga pernah merasakan suasana berbeda saat berada di Negara lainnya.
"Sudah hampir 4 tahun tinggal di New Zealand (NZ), tapi Ramadan kali ini saya sedang mengikuti konferensi di Jerman . Puasa di NZ jauh lebih singkat hanya 10 jam saja karena selalu jatuh di musim dingin atau gugur, jadi matahari cepat terbenam. Tapi saya pernah juga puasa saat spring dan summer puasanya lebih lama, seperti di Jerman puasa hingga 18 jam," terangnya dalam obrolan via whattsapp.
Seperti kebanyakan perantauan lainnya, urusan makanan kerap menjadi kendala yang mereka hadapi. Apalagi tinggal di negara mayoritas non muslim.
Nurul mengatakan kendala yang ditemuinya tergantung dari negara mana yang sedang ia kunjungi. Untuk urusan makanan halal dan beribadah, memang setiap negara memiliki peraturan yang berbeda.
Baca Juga: Ramadan di Madinah, Rahmat Andy Diperebutkan Warga
"Kalau di NZ mudah mendapatkan makanan halal. Bahkan bahan masakan Indonesia juga banyak. Berbeda dengan Jerman, lebih banyak masakan yang berbahan babi," ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, perlakuan masyarakat tiap negara pun selalu berbeda terhadap warga muslim. Hal itu menuntutnya untuk cepat beradaptasi di lingkungan manapun ia berada.
"Alhamdulillah kalau bule NZ itu sangat ramah pada siapa pun. Dan mereka biasa melihat perbedaan jadi gak rasis. Sedangkan di Jerman, orang-orang sana lumayan dingin dengan muslim," nilainya.
Menjadi muslim perantauan juga mengharuskannya untuk lebih mandiri dan praktis. Untuk menentukan waktu beribadah dan puasa, ia mengandalkan aplikasi khusus dan jadwal-jadwal yang tertera di masjid terdekat.
"Ada aplikasi namanya Athan, sedangkan untuk sholat tarawih lebih sering di rumah sendiri. Karena tarawih di NZ panjang sekali bisa sampai tengah malam. Untuk Zakat biasanya dibayarkan ke masjid atau transfer bank," ungkapnya.
Sedangkan saat lebaran, ia mengaku lebih senang tinggal di rumah bersama suami. Meski kadang KBRI juga menggelar acara.
Baca Juga: Bersuami Orang Kanada, Nisa Selalu Rindu Ramadan di Banjar
"Lebaran di sini sepi, memang ada acara halal bihalal dari KBRI. Tapi saya lebih suka di rumah dengan suami atau terkadang malah di tempat kerja. Paling kita makan di restoran setelah shalat Ied, karena suami tidak terlalu suka masakan Indonesia." katanya.
Disinggung mengenai peristiwa penembakan dua masjid Kota Christcruch, New Zealand, ia mengaku khawatir. Meskipun jarak lokasi penembakan dan tempat tinggalnya berjauhan.
"Jarak antara Christchurch dan Auckland memang jauh. Tapi karena negara ini kecil jadi tetap terasa. Perasaan saya agak takut. Tapi untungnya pihak kepolisian berjaga penuh di masjid dan negara juga sangat support terhadap peristiwa itu," jelas Nurul.
Wanita asal samarinda ini diketahui sudah melalang buana ke berbagai belahan dunia dalam urusan pendidikan.
Baca Juga: Sendirian di Norwegia, Rae Jalani Puasa dengan Menggigil
Tercatat ia adalah lulusan beberapa universitas ternama. Mulai dari lulusan S1 Pendidikan Kimia Universitas Mulawarman Samarinda (2005), S2 Teknologi Pendidikan Universitas Mulawarman (2009), dan S2 Master of Science University of Mysore India (2014).
"Kuliah saya di Faculty of Education and Social Work University of Auckland. Sejak 2016 saya juga di kontrak universitas sebagai admin di penjadwalan," sebut Nurul.
Alhamdulillah untuk urusan kuliah, katanya, masuk melalui jalur beasiswa LPDP. “Dan mendapat fasilitas berupa uang tiket, visa, biaya hidup per bulan 2000 NZD, uang buku 10 juta dan dana penelitian maksimal 200 juta," pungkasnya.
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin