Di satu kafe di kawasan Sudirman, Jakarta, saya mendengar lagu itu mengalun. Samar-samar terdengar kalimat: “Dan apabila tak bersamamu, Ku pastikan kujalani dunia tak seindah kemarin.”
Seorang kawan berbisik, “Kau tahu siapa yang nyanyi? Itu La Raim. Dia yang tulis dan nyanyikan lagu Komang.” Saya tersentak. “Raim Laode? Yang dulu pernah kita undang tampil standup?” Iya. Kawan itu mengiyakan.
Luar biasa. Anak muda yang tadinya hanya wara-wiri di Sulawesi Tenggara, kini telah menjadi pemusik ibukota. Anak muda yang tadinya hanya pandai melucu di acara standup comedy, kini telah melebarkan sayap ke dunia tarik suara.
Baca Juga: Viral Lagu Komang, Ini Profil sang Penyanyi: Raim Laode
Lebih dua bulan ini, saya mendengar lagu di berbagai kafe ibukota. Rupanya penyanyinya adalah Raim Laode, anak muda asal Wakatobi. Dia lebih dulu populer sebagai komika.
Dulu, saya dan kawan-kawan mengundangnya tampil membawakan standup di satu kegiatan di Baubau. Dia belum seterkenal sekarang. Dia malah cium tangan pada saya. Kini, banyak cewek siap antri hanya untuk selfie dengannya.
Dia sudah jauh di atas angin. Lagu-lagunya sudah viral dan diunduh jutaan orang Indonesia. Lagunya merajai tangga lagu di Spotify, disulih-ulang dalam berbagai versi, bahkan dinyanyikan di panggung Indonesian Idol.
Dia laris diundang sebagai bintang tamu di berbagai penyedia podcast. Mulai dari Anji Drive hingga Menteri Sandiaga Uno mengundang Raim demi berbagai inspirasi. Dia pun rutin mendapat undangan menyanyi di berbagai kota.
Yang menarik, Raim bukanlah produk dari sekolah-sekolah musik yang menjamur di berbagai kota. Bukan pula bakat yang mencuat dari satu ajang kompetisi. Dia juga tidak sedang dalam asuhan atau mentoring musisi ternama. Malah belum pernah bergabung dengan label perusahaan rekaman.
Saya bayangkan Raim menulis lirik di tengah hembusan angin laut Wakatobi. Mungkin saja ilham syairnya muncul saat tengah duduk di atas koli-koli atau sampan kecil di pesisir Pulau Wanci, atau saat memancing ikan di sekitar Pulau Kapota.
Dia tidak tumbuh dalam ekosistem dengan infrastruktur yang memadai. Sebagaimana pengakuannya pada Anji Drive, dia menulis lirik lagu dalam situasi penuh keterbatasan. Justru keterbatasan itulah yang membuatnya bisa rileks dan mengasah energi kreativitas hingga menulis lirik Komang, yang kata soerang kawan, bisa bikin orang lain jatuh cinta berkali-kali.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anak muda Kepulauan Buton yang tampil ke pentas hiburan nasional. Sebelum Raim Laode, ada nama-nama seperti Fildan di pentas musik dangdut, Waode Heni di ranah musik pop, juga Ari Kriting yang sukses di pentas komedi, lagu menjadi aktor papan atas.
Mereka tumbuh dari nol, dari ekosistem kreatif di daerah Mereka tidak perlu meniru-niru logat Jakarta, tetapi memakai akses khas Buton dan Wakatobi, yang familiar di timur Indonesia, lalu menjadi identitasnya. Mereka tampil apa adanya, sesuatu yang kemudian membuat mereka punya karakter lokal yang kuat.
Keping Inspirasi
Yang menarik, inspirasi kreatif itu muncul dari realitas di sekelilingnya. Sebagai komika, Ari Kriting dan Raim Laode tampil dengan tema-tema segar khas Indonesia timur. Mereka menyoal jalan rusak, listrik yang sering mati, ketiadaan sinyal, hingga stereotype orang Jakarta terhadap orang timur.
Ya, Raim sering menyampaikan kritik atau sindiran pada orang-orang Jakarta dalam melihat orang Timur. Dia menjadikan dirinya sebagai bahan olok-olok, sembari menyelipkan pesan-pesan cerdas di baliknya.
Sering dia membahas kulit gelap, yang dipandang rendah oleh masyarakat di belahan barat yang berkulit lebih terang. Dalam satu penampilan di StandUp, dia pernah bilang: “Kamu akan diolok karena kurang putih. Tapi ada kelebihanmu yakni lebih hitam. Susah dapat cewek karena cewek kota tidak mau dengan pemuda berkulit redup.”
Ini sindiran telak bagi bangsa kita yang puluhan tahun dijajah oleh mereka yang berkulit terang, lalu memandang pemilik kulit terang sebagai pemilik kasta lebih tinggi.
Lihat saja bagaimana pihak korporasi memanfaatkan anggapan terhadap kulit terang itu dengan meluncurkan berbagai produk pemutih. Lihat saja layar kaca kita yang didominasi mereka yang terang. Sementara kulit gelap identik dengan kampungan, dianggap selalu bekerja di bawah terik matahari, dipandang hina.
Namun, kritik terbaik yang dilancarkan Raim adalah betapa timpangnya pembangunan antara Indonesia barat dan timur. Dia banyak memakai ilustrasi dan eufimisme sederhana. Misalnya bagaimana ATM di Wakatobi yang menjadi penanda kemajuan.
“Wakatobi, geografis keras, panas. Satu rumah satu matahari. Pembangunan sudah pesat. Sudah ada mesin ATM dgn AC di dalam. Ini bagus. Pemerintah mencanangkan program mendukung masyarakat berteduh dari kepanasan,” katanya.
Dia juga balik mengolok-olok orang Jakarta, yang di tahun 2020 pernah mengalami listrik padam hingga tujuh jam. Saat itu, semua orang mengeluh dan melampiaskan kekesalan di berbagai kanal media sosial.
Dengan cerdas, Raim menanggapinya: “Orang Jakarta terlalu lemah. Waktu mati lampu, semua mengeluh. 7 jam saja. Semua update status. Di kampungku, tujuh abad lampu belum hidup. Saya standup belum tentu mamaku nonton karena mati lampu. Percuma terkenal di sini, mamaku tidak tahu. Listrik menyala, belum tentu update status. Jaringan tetap mati.”
Dengan tema lawakan yang segar ini, dia hendak menyampaikan problem di timur yang selama ini terabaikan. Kita terlalu sibuk menyoroti padamnya listrik di kota, padahal di timur, orang mengalami kenyataan itu dengan lebih parah. Mereka biasa saja. Justru pemerintah seharusnya malu dan harus mengatasi kelangkaan infrastruktur ini.
Dia juga menyoroti problem ketiadaan lapangan kerja di pulau-pulau sehingga anak muda tidak punya profesi lain, selain menjadi nelayan. “Karena di pesisir, profesi hanya dua nelayan dan tangkap ikan. Kami susah dekat cewek. Apalagi kalau pakai gombalan bapak kami. Kita mau kerja apa lagi kalau bukan nelayan,” katanya.
Saya ingat pertemuan dengan beberapa stakeholder kelautan dan perikanan. Banyak data dipaparkan tentang kian jarangnya anak muda yang berprofesi sebagai nelayan. Tidak ada regenerasi di sektor ini, sebab seorang nelayan pun tidak ingin anaknya menjalani profesi yang sama dengannya.
Ada reproduksi sosial yang keliru, di mana profesi nelayan dianggap tidak keren bagi anak muda. Beda halnya dengan profesi sebagai pegawai negeri atau karyawan bank. Anak-anak nelayan memilih profesi lain untuk mobilitas status, termasuk memilih profesi komedian, youtuber, atau kreator konten.
Berkat Raim Laode, dan juga komedian lain seperti Ari Kriting, kita bisa memahami suara-suara lirih di pinggiran republik kita yang selama ini terabaikan. Kita jadi tahu bagaimana perasaan anak-anak muda di Wakatobi di tengah gencarnya publikasi kawasan itu sebagai surga bawah laut.
Kita menemukan representasi dari mereka yang jauh di sana, yang merupakan potret bangsa kita, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kita menerima suara itu sebagai pertanda begitu banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di rumah republik kita.
Sebulan silam, saya berkunjung ke Wakatobi. Sayang, saya tidak sempat jumpa Raim di sana. Namun ada banyak kenyataan di sekitar, yang persis seperti sering disuarakan Raim.
Dari banyak kawan di sana, saya dengar kabar dia lebih banyak di Jakarta. Semoga saja adrenalin kreativitasnya tetap berpijak di kampung halamannya, tetap menggali isu-isu di sekitar rumahnya, tetap bersuara tentang berbagai kenyamanan dan ketidaknyamanan.
Semoga dia tetap timur, di manapun dia berada.