bakabar.com, MARABAHAN – Kerap menempati garda terdepan dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, relawan UPT Damkar Satpol PP Barito Kuala belum mendapatkan penghargaan yang layak.
Tercatat sejak Juli hingga September 2019, sudah ratusan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Batola. Selain lahan kosong, puluhan hektar di antaranya merupakan persawahan dan perkebunan.
Memang penanganan kebakaran hutan dan lahan merupakan tugas utama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pun mereka memiliki pos anggaran tersendiri yang tidak sedikit.
Namun demikian, tak semua kejadian dapat ditangani BPBD akibat keterbatasan armada dan tenaga. Tugas inilah yang kemudian ditutupi UPT Damkar dan Barisan Pemadam Kebakaran (BPK) swasta.
Bahkan tidak jarang petugas UPT Damkar yang diperkuat 27 relawan ini, lebih dulu berada di lokasi.
Atas panggilan kemanusiaan, mereka pun rela menghirup asap, menahan panas api dan matahari, serta pulang larut malam selayaknya lembaga pemangku kewajiban.
Padahal selain membantu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, UPT Damkar juga memiliki kewajiban menanggulangi kebakaran perumahan dan gedung.
Untuk tugas-tugas itu, relawan UPT Damkar menerima Rp40 ribu sebagai biaya transport latihan. Kemudian pasca aktivitas pemadaman, mereka diberi biaya transport sebesar Rp50 ribu.
Mengingat hampir ratusan kebakaran hutan dan lahan selama tiga bulan terakhir, seyogyanya mereka bisa menikmati uang transport yang lebih banyak.
Faktanya ekspektasi itu tak sebanding kenyataan, mengingat hanya satu kejadian dalam sehari yang dapat dilaporkan sebagai aktivitas.
Juga tidak sedikit di antara relawan yang harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga, demi berpartisipasi menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
Bahkan selama Batola dikelilingi kebakaran hutan dan lahan, mereka terkadang cuma pulang untuk tidur di rumah, sebelum kembali ke medan api.
“Situasi sekarang berkebalikan dengan ketika Damkar masih dinaungi BPBD. Sebelumnya relawan mendapat insentif Rp150 per bulan yang dibagikan setiap tiga bulan sekali,” kenang Ketua Damkar Batola, Ahmad Suryani, Kamis (3/10).
“Kemudian untuk setiap latihan dan pemadaman, semua yang terlibat memperoleh insentif masing-masing Rp50 ribu,” imbuhnya.
Sebagai imbas perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) yang dilakukan Menteri Dalam Negeri sejak 2017, kewenangan pengelolaan Damkar diserahkan BPBD kepada Satpol PP.
Selain memenuhi tuntutan organisasi, kewajiban Damkar masih serumpun dengan Satpol PP sebagai fungsi perlindungan masyarakat.
Lantas untuk memaksimalkan kinerja, dibentuk UPT Damkar yang membuat penanganan bisa dilakukan melalui satu pintu.
Namun semenjak peralihan itu, semua fasilitas yang dirasakan selama dinaungi BPBD, hanya tinggal kenangan. Selain tak lagi menerima bantuan bulanan, uang transport pun tersendat-sendat.
“Saya hanya berusaha membawa aspirasi relawan, mengingat mereka bukan PNS maupun honorer yang menerima gaji tetap,” tegas Suryani.
Selain berharap solusi dari skema bantuan yang harus dipikirkan Pemkab Batola, mereka juga menginginkan peremajaan peralatan seperti helm, seragam dan sepatu, serta bantuan pengobatan.
Ironisnya seragam berwarna biru yang mereka pakai sekarang merupakan warisan dari BPBD. Selama tiga bulan terakhir, tak jarang seragam itu basah dan kering di badan.
“Relawan bisa saja berkeliling meminta sumbangan warga, seperti yang dilakukan BPK swadaya. Namun itu tak mungkin, karena semua orang tahu bahwa UPT Damkar berada di bawah Pemkab Batola,” papar Suryani.
Baca Juga: Terkait Dana Transport, Relawan UPT Damkar Batola Diminta Bersabar
Baca Juga: Dihantam Puting Beliung, 33 Rumah di Batola Rusak
Reporter: Bastian Alkaf
Editor: Syarif