News

Pilwali Banjarmasin Masih Senyap, Berikut Kata Pengamat

Dinamika koalisi partai politik di Pemilihan Wali (Pilwali) Kota Banjarmasin masih buyar.

Featured-Image
Dinamika koalisi partai politik di Pemilihan Wali (Pilwali) Kota Banjarmasin masih buyar. Foto: Bahaudin Qusairi

bakabar.com, BANJARMASIN - Pilwali Banjarmasin masih senyap. Partai politik pemilik kursi DPRD Banjarmasin belum memastikan koalisi mendukung pasangan bakal calon.

Taufik Arbain melihat Pilkada Banjarmasin bakal melahirkan fenomena yang tak diduga-duga. Di mata pengamat politik ini, hal ini bisa diamati dari beredarnya nama-nama dari hasil survei 6 bulan lalu

“Namun hingga kini justru belum menunjukan kolerasi upaya pengusungan bakal calon. Padahal ada beberapa warga di berbagai kawasan kecamatan mengadang-gadang bakal calon wali kota pilihannya,” ujarnya belum lama tadi.

Menurut Taufik, kemungkinan Pilkada Banjarmasin hanya ada maksimal 2 poros atau 3 poros.

Karena ada beberapa sosok yang muncul seperti Wakil Wali Kota Banjarmasin Arifin Noor, Wakil Ketua DPRD Banjarmasin HM Yamin, mantan Aparatur Sipil Negara (ASN), H Mukhyar, Habib Banua, Yuni Abdi Sulaiman dan Hj Ananda.

“Tentu ini akan menghadirkan pasangan mana yang akan memiliki kemampuan dulangan suara besar dan cukup finansial membantu cost politik,” ucapnya.

Baginya, ilhtiar yang dilakukan para bakal calon Wali Kota Banjarmasin kira memang patut diapresasi seperti Mukhyar dengan tagline populer “siapa yang pian hadang di 2024.

“Hanya saja sampai saat ini nampaknya nama-nama yang beredar cukup variatif ini harus tergusur karena sulitnya mendapatkan 20% tiket partai politik sebagai syarat untuk maju,” lanjutnya.

Lebih mengejutkan, kata dia, apabila terjadi lompatan yang seakan adanya penggergajian hak kader. Semisal ketua partai tidak direkomendasikan menjadi wali kota atau wakil wali kota Banjarmasin, tetapi diberikan pada kader lain dengan berbagai alasan.

Fakta ini terjadi juga pada kabupaten/kota di Kalsel. Melihat fakat-fakta demikian, lanjut dia, semakin mengejutkan publik dan para bakal calon bahwa proses elektoral kepala daerah di awal seakan sudah disetting. Sehingga ajang kompetitif tidak memberikan ruang fair bagi para kandidat.

“Apalagi adanya politik simbolik mendapatkan restu A dan restu B yang semua pihak sudah mafhum,” tuturnya.

Selain itu, ia menyampaikan pemilih pada Pemilu hanya sedikit kemungkinan linear dengan pilihan pada figur kepala daerah dan wakil kepala daerah. Terkecuali terkait jejak rekam, personalitynya dan kemampuan pihak partai sendiri merawat konstituennya dari pemilu sampai pilkada.

“Fakta ini pulalah yang menyebabkan pergeseran memberikan tiket maju kepada seseorang,” pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner