bakabar.com, JAKARTA - Keberadaan perempuan kadang masih di pandang sebelah mata. Begitu juga ketika kaum hawa masuk ranah legislatif.
Tapi apa kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari terkait keberadaan perempuan di parlemen.
Ia melihat ada 3 alternatif penting yang bisa digunakan perempuan dalam MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Di samping sejumlah pihak yang mendorong keterwakilan perempuan pada kursi pimpinan dan alat kelengkapan dewan (AKD).
“Setidaknya ada tiga alternatif yang bisa digunakan untuk perempuan di parlemen. Pertama sebagai alternatif aspirasi publik kepada perwakilan rakyat,” ujar Feri.
Ia mengatakan, biasanya selama ini anggota DPR/DPD yang mengutamakan laki-laki, selalu gagal menampung aspirasi publik dengan baik. Contohnya, beberapa undang-undang yang akhir-akhir ini dibicarakan justru tidak menampung aspirasi publik.
Feri melanjutkan, mestinya perempuan di parlemen tampil menjadi alternatif lain untuk menampung aspirasi. Anggota dewan perempuan mesti mampu menampung aspirasi. Kalau DPR/DPD itu terlalu pro kekuatan partai, kata dia, perempuan harus pro kepentingan rakyat.
Kedua, Feri menuturkan, perempuan dapat menjadi alternatif kegagalan kinerja parlemen memenuhi fungsi tugas. Fungsi utama anggota dewan yaitu legislasi atau membuat undang-undang. “Prolegnas itu selalu gagal, apalagi yang prioritas. Yang prioritas gagal dipenuhi, tiba-tiba yang tidak prioritas naik di tengah jalan hanya untuk menghancurkan sebuah lembaga,” kata Feri.
Ia melanjutkan, mestinya kekuatan perempuan di parlemen tampil untuk mengisi kekosongan itu. Bahkan, ia mengusulkan jika Rancangan Undang-undang (RUU) berasal dari individu dewan agar nama anggota legislatif itu ditulis dalam pengusulan RUU tersebut. “Kenapa ini perlu? Supaya tahu siapa yang bekerja rajin. Siapa yang //congornya di televisi lebih nyaring dibanding kerjanya, nanti akan ketahuan yang banyak kerja perempuan,” tutur Feri.
Sehingga, publik merasakan keterwakilan kelompok perempuan di parlemen dan tahu kehadiran perempuan itu penting. Sebab, menurut dia, publik merasa hampa dengan keterwakilan laki-laki di parlemen yang selalu gagal menampung aspirasi masyarakat.
Ketiga, perempuan harus menjadi alternatif pimpinan di parlemen. Kalau tidak ada maka akan sulit perimbangannya. Kalau tidak tak ada keseimbangan, tak ada alternatif suara berbeda antara anggota dewan laki-laki dan perempuan.
Feri mengungkapkan, yang menarik misalnya, perempuan itu selalu menjadi komponen terhadap kerja negatif parlemen secara umum. Misal, apabila mayoritas pihak menyuarakan pelemahan KPK, anggota perempuan harus menyuarakan penguatan KPK.
“Naik harga BBM (Bahan Bakar Minyak, Red), perempuan menyuarakan harga BBM tidak naik. Abai terhadap keselamatan perempuan pekerja, perempuan harus tampil sebaliknya,” tuturnya.
Ia menambahkan, alasan harus ada alternatif itu karena konsekuensinya bagi publik berbeda. Anggota perempuan lebih mengerti aspirasi masyarakat dan mayoritas penduduk Indonesia pun adalah perempuan.
Feri mengatakan, berbagai pihak tentunya harus menjalankan amanat keterwakilan perempuan di parlemen. Hal itu sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 82/PUU-XII/2014, yang memutuskan untuk mengutamakan keterwakilan perempuan di dalam pimpinan AKD adalah sesuatu yang mesti diwujudkan. “Bagaimana menggagasnya? sudah ada putusan MK. Saya pikir itu, mudah-mudahan DPR mematuhi putusan MK,” kata dia.
Baca Juga: Debat Final Caketum Hipmi, Mardani H Maming Siap Maksimalkan Revolusi Industri 4.0
Baca Juga: KLHK Tingkatkan Kesiapsiagaan Atasi Karhutla di Bulan September
Sumber: Republika
Editor: Syarif