Kalsel

Pengamat Cemas Jika Tiga Wilayah di Kalsel Adopsi PSBB Banjarmasin

apahabar.com, BANJARMASIN – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang dianggap sangat tepat…

Featured-Image
PSBB Banjarmasin. Foto-dok/apahabar.com

bakabar.com, BANJARMASIN – Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan pemerintah pusat yang dianggap sangat tepat dalam menangani wabah virus Corona (Covid-19) di Indonesia.

Di Kalimantan Selatan (Kalsel), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menyetujui penerapan PSBB di empat kabupaten atau kota, Banjarmasin, Banjarbaru, Banjar dan Barito Kuala.

Lantas, apa standar Kemenkes RI dalam memberikan izin PSBB di empat kabupaten atau kota tersebut ?

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik FISIP ULM, Taufik Arbain menilai keempat kabupaten atau kota itu telah memenuhi standar jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19.

Menurutnya, PSSB ini harus diimplementasikan dengan melihat tiga aspek, sebagaimana termaktub dalam PP No.21/2000dan Permenkes No.9/2000.

“Saya melihat ada tiga aspek yakni kewilayahan, demografi dan waktu berlangsungnya kebijakan,” ucap Taufik Arbain melalui siaran pers tertulis yang diterimabakabar.com, Rabu (13/5) siang.

Dari karakteristik wilayah, Banjar dan Batola memiliki karakteristik pedesaan sehingga sangat memungkinkan terlaksana social dan pshycal distancing.

Di samping itu, perekonomian di sana akan tetap berjalan karena dominan masyarakat berprofesi sebagai petani dan mencari ikan.

Selain itu, pergerakan manusia di dua kabupaten tersebut dinilai relatif rendah. Batola misalnya, tingginya intensitas pergerakan orang hanya berada di kawasan Handil Bakti.

Sedangkan Banjar, berada di kawasan koridor Kilometer 7 Kecamatan Kertak Hanyar, Kilometer 14 Kecamatan Gambut, dan Martapura.

“Sehingga penanganan tetap menerapkan PSBB, bukan karantina wilayah,” bebernya.

Menurutnya, di sini diperlukan model pendekatan yang tidak menimbulkan kecemasan berlebih di tengah masyarakat.

Meski begitu, ia cemas jika Kabupaten Banjar, Banjarbaru, dan Batola akan mengadopsi penerapan PSBB Banjarmasin.

Di mana Banjarmasin dinilai memilih pendekatan keamanan dan ‘karantina wilayah’ malu-malu.

Padahal filosofis akhir dari PSBB yakni menjaga ekonomi rakyat agar tetap bertahan dan herd imunity dengan imbauan social and physical distancing.

“Sebab pemerintah pusat nampaknya lebih melihat aspek itu yang berbahaya secara sosial dan politik sehingga mengapa ada policy choice PSBB,” ungkap Alumni Program Doktor Manajemen dan Kebijakan Publik UGM ini.

Secara karakteristik demografi, di perkotaan lebih dominan penduduk produktif sebagai nilai ekonomi.

Dalam kisaran 60 – 70 persen penduduk bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima (PKL), buruh harian, dan swasta lainnya.

Fakta ini menunjukkan, ketergantungan hidup masyarakat perkotaan pada pekerjaan jelas berbeda dengan kalangan ASN dan pekerja formal lainnya, berdasar gaji bulanan dengan pola work from home (WFH).

“Maka dari itu, pemerintah kota harus mampu membuat inovasi kebijakan penanganan Covid-19, tanpa harus ada pembatasan dan menutup usaha-usaha kecil masyarakat,” tegasnya.

Pemerintah kota didorong harus mengatur timing buka-tutup dan protokol pencegahan Covid-19.

Pastinya dengan cara menempatkan petugas yang lebih besar di kawasan pasar-pasar.

Pemerintah jangan bekerja sendiri dengan instrument institusi, namun lebih menggunakan dana refocusing APBD untuk Covid-19.

Dan, bisa mengerahkan relawan dari kalangan Damkar, LSM, Ormas dan pemuda pada titik yang ditentukan.

“Sehingga pembatasan sosial dan ekonomi berjalan selama 14 hari,” tegas Ketua Umum Koalisi Kependudukan Kalsel ini.

Terlebih, saat ini merupakan musim pengharapan menjelang lebaran bagi penduduk perkotaan, khususnya para pedagang.

Menurutnya, kondisi ini yang dimaksud kebijakan harus memperhatikan aspek waktu kapan kebijakan diimplementasikan.

“Jadi tidak sekadar memilih pada model rational comprehensive, tetapi pada model Mixed-Scanning. Tidak sekadar pertimbangan rational kesehatan, efisien, tetapi juga pertimbangan rational economic politis,” jelasnya.

Di tengah kondisi ekonomi yang kian lesu, pemerintah tidak sekadar menghadirkan kebijakan (policy), tetapi juga kebijaksanaan (wisdom) dan kebajikan (virutues).

Pilihan kebijakan yang beranjak dari analisis komprehensif, baik ekonomi, sosial budaya, dan timing sangat diperlukan agar rakyat patuh sehingga terbangun trust kepada pemerintah.

Justru, kearifan kebijakan ini akan mengurangi kecemasan publik yang berlebih dan tidak berimplikasi pada menurunnya imun rakyat serta tambah tinggi tingkat morbiditas penduduk.

“Untuk itu dibutuhkan kesabaran petugas di lapangan dalam menghadapi kondisi stress yang dihadapi publik selama wabah ini,” cetusnya.

Menurutnya, apa yang dihadapi pemerintah daerah dalam kondisi dilematis regulasi.

Satu sisi pemerintah pusat menekankan PSBB, namun tidak disertai pedoman teknis, kecuali inovasi daerah, sehingga melahirkan multitafsir dalam penanganan.

Di sisi lain, berubah-ubahnya fatwa WHO soal kesehatan, apalagi akan ada rencana diperbolehkannya penduduk usia 45 tahun keluar bekerja.

“Untuk itu, kesadaran publik terus kita bangun dengan menghadirkan kepercayaan dan kapabilitas pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat,” tandasnya.

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Syarif



Komentar
Banner
Banner