bakabar.com, BANJARBARU – Pemindahan ibu kota provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru masih menuai pro dan kontra. Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Taufik Arbain menilai polemik ini sebenarnya hanya terkait input, proces, dan output.
Menurutnya, pada tataran input sebagai ruang persiapan formulasi kebijakan ini barangkali kurang mendalam. Baik dari partisipasi publik, peran aktor berkepentingan maupun para pakar yang diundang dalam merumuskan RUU pemindahan ibu kota provinsi saat itu.
"Justru seingat saya, tidak ada berdengung bahkan di media massa, sementara aspek perpindahan inilah yang menjadi polemik dan melahirkan pro dan kontra," katanya, Rabu (23/2).
Selain tataran input yang dirasa kurang mendalam, banyak yang jadi pertanyaan dalam perumusan RUU pemindahan ibu kota provinsi Kalsel.
"Apakah hanya membahas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 soal perubahan UU atau normative saja? Aspek sosiologis? Aspek regional development, sosial kultural dan kesejarahan, geografis-demografis atau aspek spasial tidak tereksplore dengan baik?" ujarnya.
Menurutnya saat diskusi dan seminar pergantian UU pada September 2021 lalu tidak melihat ragam perspektif.
Taufik tak menampik pergantian ibu kota provinsi memiliki implikasi luas, baik aspek kesejahteraan, morfologis kawasan hingga pembangunan.
Aspek kesejarahan tentu saja ini terkait soal kesejarahan di ibukota di masa Kesultanan Banjar, Kolonial Belanda hingga NKRI Tahun 2021. Sedangkan aspek morfologis kawasan, terkait pemanfaatan dan daya dukung lahan dari implikasi pembangunan.
"Paling gampang saja misalnya bahwa setiap kantor partai politik provinsi harus berkedudukan di ibu kota. Ini akan terjadi mobilisasi besar-besaran kantor partai di Banjarbaru," jelasnya.
Namun harus diingat, baik Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan sekitarnya memiliki rata-rata pertumbuhan penduduk kisaran 1,5 – 2 persen. Itu artinya, akan terjadi pola sebaran pemanfaatan lahan seperti 'sarang laba-laba', termasuk Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Banjar.
Maka dari itu, ia kira pindah atau tidak ibu kota, implikasi dari demografis dan pembangunan keniscayaan akan terjadi pola demikian.
Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin tetap menjadi magnet-magnet pembangunan (primary city) dengan pola tersendiri.
Dari situ, integrasi perencanaan pembangunan dan antar Kawasan Banjarbakula itu penting bersama Pemerintah Provinsi.
"Apalagi dengan kehadiran pemekaran Kabupaten Gambut Raya sebagai kawasan penopang dua primary city ini," tutur Datuk Cendekia Kesultanan Banjar itu.
Desain pembangunan harus terintegrasi. Ini tentu dikaitkan Provinsi Kalsel sebagai pintu gerbang IKN.
Maka wajar, menurutnya jika ada kalangan di Banua terkait input dan proses pergantian UU tersebut melakukan komparasi dengan UU Provinsi Bali yang memiliki usaha yang sama jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan UU Provinsi Kalsel.
Baik aspek otonomi, isu pembagian urusan pemerintahan, daya saing daerah, bahkan terkait asas dan tata adat Bali dan pelestarian kebudayaan.
Hal tersebut menurutnya wajar karena masyarakat dan aktor elit di Bali jauh-jauh hari sudah melek terhadap perubahan UU tersebut. Apalagi sejak ramainya kebijakan Desentralisasi Asimetris atau yang dikenal dengan Otonomi Khusus, mereka mempersiapkan itu.
Menurutnya mendalamnya konten UU Provinsi Bali saat ini justru bisa menjadi pintu masuk pada ekspektasi menuju usulan Otonomi Khusus Provinsi Bali dengan sebutan Keistimewaan. Sebab, implikasinya diikuti dengan perangkat kebijakan lainnya termasuk anggaran pembangunan khusus.
Taufik merujuk pada usulan disertasinya tahun 2012 di Program Doktor UGM terkait soal Kebijakan Desentralisasi Asimetris Kalimantan.
"Tetapi sayang tidak diperkenankan oleh para dosen penguji usulan disertasi," katanya.
Waktu itu, dirinya menganggap ada syarat-syarat yang memungkinkan desentralisasi asimetris.
Seperti ketidakmerataan pembangunan, berbatasan dengan negara lain, kaya akan sumber daya alam, adanya tatanan keraton/kerajaan dan lembaga adat semua provinsi, lintasan jalur laut internasional.
Hal itu ditambah dengan kondisi saat ini IKN ada di Kalimantan.
"Jadi usulan desentralisasi asimetris tidak harus dilewati dengan separatism," ujar Ketua Pusat Studi Kebijakan Publik ULM itu.
Terkait UU Provinsi Kalsel tahun 2022, ia kira semua patut memberikan apresiasi atas usaha ini.
"Meluruskan yang bengkok, meninggikan yang rendah terkait alas UU Nomor 25 Tahun 1956 yang memang harus diganti meski banyak pihak tercengang sampai harus berganti pusat Ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru," ujarnya.
Fakta ini menjadi catatan penting bagi warga Kalsel ke depan. Keterlibatan ragam pihak, partisipasi publik terhadap hal-hal hajat orang banyak mesti diperlukan ruang diskursus sebelum masuk pada ruang formulasi kebijakan.