bakabar.com, JAKARTA - Ketua Bidang Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Andi Taufan Garuda Putra menyampaikan bahwa 62 persen permintaan pembiayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih terpusat di wilayah Jawa - Bali.
Persentase tersebut mengidentifikasi bahwa penyebaran permintaan pembiayaan di wilayah Indonesia tidak seragam karena mempunyai komposisi klaster yang berbeda-beda.
“Permintaan pembiayaan UMKM masih terpusat di Jawa dan Bali yakni 62 persen dari total pembiayaan UMKM di Indonesia pada 2022, dan akan menjadi 61 persen pada 2026. Adapun pada 2022, total supply pembiayaan UMKM Rp1.400 triliun dan pada 2026 akan menjadi Rp1.900 triliun,” kata Andi di Jakarta, Jumat (14/70.
Hasil riset AFPI - EY Parthenon tersebut menunjukkan segmen dengan pertumbuhan tertinggi terdapat di Indonesia timur dengan skala ultra mikro dan mikro.
Baca Juga: Layanan Bank Neo Commerce, Khusus Nasabah, Korporasi hingga UMKM
Segmen tersebut memiliki laju pertumbuhan Compound Annual Growth Rate (CAGR) 23,1 persen antara 2022-2026. Permintaan pembiayaan dari Indonesia timur diperkirakan mencapai Rp250 triliun pada 2026, yang mana 24 persen atau sekitar Rp60 triliun berasal dari kelompok Bisnis Prospektif.
Namun, sampai saat ini akses pendanaan masih terbatas di daerah tersebut. Sedangkan untuk usaha skala besar yang masih belum matang masih mendominasi permintaan pembiayaan di Kalimantan.
“Dengan memahami profil pembiayaan yang berbeda di setiap daerahnya, maka lembaga keuangan termasuk anggota AFPI dapat mengetahui potensi pendanaan yang dapat disalurkan,” ujarnya.
Partner EY Parthenon Indonesia, Strategy and Transactions, Anugrah Pratama menjelaskan ada empat segmentasi baru hasil riset AFPI-EY Parthenon, yakni pertama, Kelompok Bisnis Prospektif. Kelompok itu merupakan bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi serta memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
Baca Juga: Tingkatkan Kompetensi UMKM, Pegadaian Luncurkan 'GadePreneur'
Kedua, kelompok Kebutuhan Dasar, yang mana bisnis skala ultra mikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah serta menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
Ketiga, kelompok Bisnis Konvensional Bertahan, yakni bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status-quo mereka.
Keempat, kelompok Bisnis Unggul yaitu bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.
Anugrah berharap, melalui riset itu seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah akan memiliki definisi terpadu untuk dapat menyelaraskan dan menyusun strategi yang lebih kuat untuk segmentasi UMKM.
“Segmentasi UMKM ini menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang harus diperhatikan. Setiap klaster tersebut membutuhkan serangkaian intervensi kebijakannya sendiri berdasarkan tingkat urgensi yang dimiliki. Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” pungkasnya.