bakabar.com, BANJARMASIN – Pemerintah daerah sangat mudah untuk melakukan pelacakan terhadap perizinan perusahaan tambang di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Sebab proses perizinan ada instrumen publik yang melibatkan masyarakat dalam satu tahapan.
"Saya kira tidak ada alasan pemerintah daerah tidak mengetahui sebuah perizinan, apalagi menyangkut persoalan Izin Usaha Pertambahan (IUP) Operasi Produksi (OP)," ucap Pakar Hukum Adminisrasi dan Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum (FH), Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Profesor Dr. Hadin Muhjad melalui siaran tertulis yang diterima bakabar.com, Senin (29/3) sore.
Hal tersebut disampaikan terkait adanya pernyataan 'IUP Bodong' sejumlah pihak terhadap perusahaan tambang di Kalsel.
Prof Hadin mengatakan pemerintah daerah harusnya memiliki kewenangan dan pengawasan ketat dengan berkoordinasi terhadap pemerintah di atasnya.
Di antaranya seperti Pemkab Tanah Bumbu ke Pemprov Kalsel atau Pemkab Tanbu dan Pemprov Kalsel ke Pemerintah Pusat (Kementerian ESDM) dalam hal izin lingkungan.
"Ya, tidak mungkin lah ada kegiatan (pertambangan) di wilayahnya, namun pemerintah daerah tidak mengetahuinya. Artinya ada bagian tertentu yang bisa dimasuki oleh pemerintah daerah, walau persoalan pertambangan mengacu ke UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)," tutur alumni Doktor Universitas Airlangga Surabaya ini.
Untuk Itu, Guru Besar Hukum ULM itu menegaskan, tak bisa IUP OP dikatakan 'Bodong', mengingat semua instrumen pemerintah terlibat.
"Yang berhak mengatakan IUP OP 'bodong' hanya lah pengadilan secara hukum pidana, sedangkan hukum administrasi bisa dikatakan cacat setelah dibuktikan kecacatannya di pengadilan," ucap anggota Dewan Proper (Kelayakan Lingkungan) Kalsel ini.
Mengingat setiap sebutan 'bodong' atau dalam kapasitas dugaan, maka berdampak terhadap usaha artinya perusahaan tersebut terganggu usahanya.
"Inti disebut dugaan 'bodong' pun teganggu usaha perusahaan tersebut," bebernya.
Sementara itu, Dosen FH ULM Dr Suprapto SH MH mengungkapkan, hukum administrasi dalam menyatakan suatu perizinan (KTUN) sah atau tidak merupakan wewenang tiga pihak.
"Yakni badan/pejabat yang menerbitkan KTUN, atasan pejabat yang menerbitkan KTUN dan PTUN," sebut pakar hukum administrasi ini.
Sebab dalam hukum administrasi, tambah alumni doktor Universitas Brawijaya Malang ini, ada prinsip/asas pra duga rechtmatin (vermoeden van rechtmatigheid, presumption iustea causa).
Asas ini menganggap setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatige (sesuai hukum) sampai ada pembatan.
"Pembatalan atas izin hanya dapat dilakukan tiga pihak tadi," katanya.
Prosedur yang tersedia bagi pihak yang dirugikan tehadap suatu KTUN sesuai hukum acara administrasi pasal 75-78 UU No 30/2014 yakni melalui upaya administrasi berupa pengajuan keberatan kepada pejabat yang membuat KTUN dan mengajukan banding administratif kepada atasan pejabat yang menerbitkan KTUN.
"Apabila ada perizinan termasuk perizinan pertambangan yang diduga tidak sah, maka hanya tiga pihak tersebut yang berwenang menyatakan tidak sah atau batal," imbuhnya.
Karena itu, Suprapto memastikan selain ketiga pihak tersebut tidak berhak menyatakan suatu ijin tidak sah atau bodong.
"Bahkan tidak dibenarkan menyebutkan identitas perusahaan secara lengkap karena masih berdasarkan dugaan. Hal itu dapat menimbulkan persoalan hukum lain. Dugaan mal administrasi diutamakan asas ultimum remedium yang mana upaya pidana merupakan jalur paling terakhir yang ditempuh ketika jalan lain (misalnya prosedur administratif sudah diupayakan," tutupnya. (*)