bakabar.com, BANJARMASIN – Kasus Covid-19 pasca-liburan panjang akhir 2020 bakal meningkat. Bahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah memprediksi.
Sampai-sampai Menkes Budi Gunadi meminta rumah sakit rujukan di pusat maupun daerah bersiap. Menambah tempat tidur 25-35 persen, serta jumlah perawat dianggapnya adalah solusi, karena dinilai hal yang krusial.
“Dengan menambah jumlah tempat tidur di rumah sakit yang sudah ada, teknisnya jadi lebih mudah," kata Menteri Budi di Jakarta.
Disamping itu Menteri Budi juga mewanti-wanti masyarakat agar tetap menerapkan protokol kesehatan ketat saat liburan panjang.
Semoga saja masyarakat masih mau mendengarkan dan tak bosan mendengar imbaun ini.
Hingga kemarin, Sabtu (26/12), tercatat terjadi penambahan kasus baru positif Covid-19 sebanyak 6.740 orang. Sehingga total kasus di Indonesia sudah tembus 706.837.
Anehnya, di tengah penambahan kasus ini, pemerintah seolah tak jera dengan memberikan libur panjang akhir tahun yang sudah diketahui sangat berisiko.
Ini memang dilematis. Pemerintah punya hutang karena sudah memangkas libur Idul Fitri sebelumnya. Dengan harapan kasus Covid-19 di akhir tahun melandai dan mengganti libur di waktu ini.
Tapi ternyata tidak, kenyataannya tak demikian. Memasuki akhir tahun jumlah kasus Covid-19 malah terus bertambah.
Para pengamat pun menyoroti soal kebijakan pemerintah dengan memberikan libur panjang di tengah terus bertambah kasus ini.
Pasalnya, penambahan kasus di Desember ini akibat libur di Akhir Oktober dan awal November lalu. Ditambah adanya pelaksanaan Pilkada serentak 2020.
Salah satu pengamanan yang getol mengkritisi pemerintah soal penanganan Covid-19 ini adalah Hidayatullah Muttaqin.
Dia merupakan salah satu anggota Tim Pakar Percepatan Penanganan Covid-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin.
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan ini memberikan ulasan secara rinci dengan data-data yang dimilikinya.
Tulisan itu diberi judul “Kebijakan Pemerintah Menjadi Pemicu Ledakan Kasus Covid-19 Akhir Tahun”.
Seperti yang sudah diperkirakan ujar Muttaqin, sejak akhir Oktober lalu bahwa Covid-19 di Indonesia akan mengalami ledakan kasus sebagai akibat liburan panjang cuti bersama di akhir bulan Oktober, momen pilkada dan liburan panjang akhir tahun.
Ledakan tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan pelonggaran ekonomi oleh pemerintah pusat dan kurangnya antisipasi pemerintah daerah.
Hingga 25 Desember jumlah penduduk yang dikonfirmasi positif Covid-19 nasional sudah menembus angka 700 ribu kasus dengan 82 persen diantaranya sudah dinyatakan sembuh dan 3 persen meninggal dunia.
“Perkembangan ini sangat memprihatinkan mengingat sebelum dimulainya era new normal atau adaptasi kebiasaan baru, jumlah penduduk yang terinfeksi virus Corona pada akhir bulan Mei baru sekitar 26 ribu kasus lebih,” imbuhnya.
Ini mengindikasikan bahwa strategi pelonggaran ekonomi yang diwujudkan dalam istilah new normal sejak bulan Juni 2020 justru melipatgandakan sebaran dan jumlah penduduk yang terinfeksi virus Corona sebanyak 27 kali lipat.
Adapun ledakan kasus pada bulan Desember di Indonesia terlihat dari beberapa indikator.
Pertama kata Muttaqin, dalam 25 hari pertama bulan Desember jumlah kumulatif kasus baru sebesar 161 ribu. Angka ini setara dengan 125 persen jumlah kasus baru di bulan November, 131 persen dari bulan Oktober, 144 persen dari bulan September, dan 243 persen dari jumlah kasus baru di bulan Agustus.
Kedua, rata-rata pertumbuhan harian sepanjang 1-25 Desember sudah mencapai 6.449 kasus per hari. Ini jauh lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan di bulan November dengan 4.293 kasus per hari, Oktober 3.970 kasus per hari, September 3.740 kasus per hari, dan Agustus dengan 2.143 kasus per hari.
Ketiga, meskipun angka kesembuhan mengalami peningkatan namun khusus bulan Desember ini perbandingan antara jumlah kasus baru dengan jumlah pasien Covid-19 yang sembuh mengalami peningkatan menjadi 1,3 kali lipat.
Pada bulan November perbandingannya adalah 1,1. Artinya konsekuensi ledakan kasus adalah meningkatnya kasus aktif yang berdampak pada penuhnya ruang ICU dan ruang perawatan atau isolasi khusus Covid-19 di rumah sakit.
“Jika terjadi over kapasitas, maka potensi jumlah pasien meninggal semakin besar. Inilah salah satu dari bahaya ledakan kasus Covid-19,” kata Muttaqin.
Keempat, pada bulan Desember ini jumlah pasien Covid-19 yang meninggal mengalami lonjakan yang signifikan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Dalam periode 25 hari pertama Desember sudah terdapat 3.902 orang yang dikonfirmasi meninggal karena Covid-19.
Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan kasus meninggal pada bulan November 3.176 orang, Oktober 3.029 orang, September 3.323 orang, dan Agustus 2.286 orang.
Lantas apakah ledakan kasus pada bulan Desember ini terkait dengan pelaksanaan pilkada dan liburan panjang akhir tahun?
Hal ini cukup jelas kaitannya dan sudah diakui oleh SATGAS COVID-19 Pusat sendiri bahwa liburan akhir tahun dan kegiatan lainnya yang mendorong mobilitas penduduk merupakan "motor penggerak" pertumbuhan kasus Covid-19.
Untuk memperjelas kaitan tersebut maka salah satunya dapat dilihat pada indikator naiknya angka positive rate.
Misal, berdasarkan data banyaknya jumlah penduduk yang menjalani tes PCR dan hasil tes positif, angka positive rate pada bulan Desember mencapai 19 persen sedangkan November 14 persen.
“Angka 19 persen menunjukkan rata-rata dari 100 orang yang menjalani tes PCR sebanyak 19 orang diantaranya terkonfirmasi positif Covid-19,” jelasnya.
Sementara itu angka positive rate mingguan juga menunjukkan peningkatan secara gradual, di mana pada minggu pertama hingga ketiga bulan November angka positive rate mencapai 13 persen, kemudian meningkat menjadi 15 persen pada minggu keempat.
Di bulan Desember ini, angka positive rate pada minggu pertama naik menjadi 17 persen, minggu kedua 18 persen dan minggu ketiga 19 persen. Sedangkan pada periode berjalan minggu ke-empat, angka positive rate sudah mencapai 21 persen.
Data ini menunjukkan terjadinya peningkatan penularan virus Corona di tengah-tengah masyarakat seiring waktu dengan terjadinya pilkada dan mobilitas penduduk terkait liburan.
“Khusus liburan panjang akhir tahun, dampaknya terhadap laju kasus Covid-19 akan lebih terlihat mulai minggu pertama Januari tahun depan,” bebernya.
Berdasarkan analisis ini dapat disimpulkan bahwa persoalan pengendalian pandemi Covid-19 bukanlah sekedar bagaimana protokol kesehatan dapat diterapkan dengan ketat di tengah-tengah masyarakat. Tetapi juga sangat tergantung bagaimana kita dapat mengendalikan motor penggerak pertumbuhan Covid-19 itu sendiri, yaitu mobilitas penduduk.
Langkah penting lainnya adalah peningkatan strategi 3T 3T (testing, tracing, treatment) untuk melacak sebanyak-banyaknya penduduk yang terinfeksi Covid-19 baik yang bergejala ringan dan berat maupun yang OTG (orang tanpa gejala) untuk kemudian memisahkan warga yang terinfeksi dan yang tidak.
Jika ada upaya menurunkan kasus dengan menurunkan jumlah tes PCR, maka hal itu hanya akan menunda "ledakan kasus konfirmasi" saja. Upaya ini akan membahayakan kesehatan masyarakat. Sebab penurunan semu dapat memicu masyarakat semakin abai menerapkan protokol kesehatan.
“Pemerintah harus menampilkan data kasus Covid-19 apa adanya, jangan ada yang disembunyikan. Jika ditutupi, maka penurunan semu dapat membawa masyarakat untuk tidak disiplin dan mengabaikan protokol kesehatan,” ucapnya.
Jadi upaya pengendalian pandemi Covid-19 itu tidak hanya terkait dengan perilaku masyarakat tetapi juga tergantung pada perilaku pemerintah sendiri dalam membuat kebijakan.
Di mana seharusnya strategi pengendalian pandemi harus melibatkan protokol kesehatan yang ketat, pengendalian mobilitas penduduk, dan peningkatan 3T dalam satu paket.
“Tanpa memperkuat tiga aspek ini, maka tidak menutup kemungkinan terjadi ledakan yang lebih besar dengan jumlah 10 ribu kasus per hari pada awal tahun depan,” tukasnya.