bakabar.com, BANJARMASIN – Nahdlatul Ulama dan Tuan Guru disebut berperan penting meredam kekerasan G30S/PKI 1965 di Kalsel di tengah masyarakat sipil. Benarkah?
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur mengatakan, dalam sebuah buku berjudul Berlayar di Tengah Badai:
Misbach Tamrin dalam Gemuruh Politik-Seni, substansinya membahas kehidupan perupa Misbach Tamrin, kelahiran Amuntai, Kalimantan Selatan pada 1941 lalu.
Di masa Orde Baru, Misbach Tamrin sendiri pernah mendekam di penjara selama 13 tahun karena dituduh sebagai komunis.
“Terungkap, di Kalsel relatif tak terjadi kekerasan antar masyarakat sipil pada tahun peralihan politik tersebut,” kata Mansyur.
Memang ada penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan, seperti dialami Misbach Tamrin dan Toga Tambunan. Namun, berbeda dengan daerah Jawa, Bali, dan Kalimantan Tengah (Kalteng).
Di Kalsel, tak ada perburuan, penyerangan, penangkapan, dan pembantaian masyarakat sipil terhadap masyarakat sipil lain.
“Dalam hal ini para aktivis PKI atau yang dianggap terkait dengannya. Tidak ada yang namanya 'dibon' seperti di Jawa,” terang Mansyur.
Ada beberapa sumber menyebut, semua dikarenakan faktor kehadiran Pangdam Lambung Mangkurat Kalsel kala itu, Jenderal Amir
Machmud yang merupakan pengagum Soekarno.
“Meskipun hal tersebut masih meragukan,” bebernya.
Menurut Mansyur, terdapat tiga faktor penyebab masyarakat setempat tak ikut serta mengejar atau menumpas orang yang dianggap PKI.
Pertama, ikatan kekeluargaan masyarakat Banjar kala itu sangat kuat.
Mereka masih mengenal istilah ‘Bubuhan’, artinya anggota keluarga besar.
Beberapa orang Banjar sendiri banyak yang aktif di PKI atau pun organisasi yang dekat dengannya. Jadi, kekerabatan ini mampu mencegah kekerasan.
Selain itu, orientasi keagamaan orang Banjar sangat moderat. Kebanyakan mereka orang NU.
Jadi, NU dan juga peran tuan guru di Martapura sangat dihormati masyarakat setempat.
“Mempunyai pengaruh besar tidak terjadinya kekerasan,” tegasnya.
Menurut Toga, sebelum dirinya tertangkap, ia sempat bersembunyi dari satu daerah ke daerah lain di pelosok Kalsel. Ia pun bertemu dengan banyak orang.
Akan tetapi, mereka seperti tak peduli. Bahkan, sebagian ada yang membantu.
Memang, Kalsel tercatat sebagai basis Partai NU di luar Jawa saat itu. Bahkan, hingga kini.
Ketua Umum NU saat itu, yakni KH. Idham Chalid yang berasal dari Kalsel. Tak heran kalau NU di Kalsel merupakan partai terbesar pada 1965.
“Apa yang dikemukakan Toga bisa disebut sebagai kesaksian. Toga bercerita datang ke Banjarmasin pada 1962 sebagai pegawai kesehatan yang dikirim pemerintah pusat untuk ikut menangani penyakit malaria yang menyebar di kawasan tersebut,” terangnya.
Karena senang menulis dan berkesenian, ujar Mansyur, Toga kemudian turut mengelola LEKRA Kalsel bersama Misbach Tamrin.
Hal tersebut yang menyeretnya ke tahanan selama 14 tahun, meskipun ia mengaku bukanlah anggota PKI.
“Beliau sebenarnya anggota Partindo (Partai Indonesia, red) sebelum ke Banjarmasin. Beliau adalah redaktur kebudayaan Bintang Timur, milik Partindo,” pungkasnya.