bakabar.com, BANJARMASIN – Demang Lehman bukan sosok yang asing bagi masyarakat Banjar. Belanda bahkan memandangnya sebagai musuh yang paling ditakuti.
Sakit takutnya, konon Belanda menyimpan kepala pejuang asal Barabai ini lantaran takut Demang Lehman hidup lagi.
Lantas di mana tubuh Demang Lehman dimakamkan?
Untuk diingat, sepak terjang Demang Lehman di medan Perang Banjar selama belasan tahun, dari 1859-1863, tak perlu diragukan lagi.
Demang Lehman bahkan rela mati demi bangsa di tiang gantungan di Alun-alun Martapura, 27 Februari 1864.
“Suatu pengorbanan tanpa air mata yang akan selalu dikenang,” ucap Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP ULM, Mansyur kepada bakabar.com, Selasa (27/10) siang.
Pada saat menjalani masa tahanan tidak ada satu orang pun yang menjenguk atau sekadar menanyakan kondisi Demang Lehman. Penduduk sangat takut disangkut pautkan dengan sosok Demang Lehman, demikian dituliskan wartawan Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, kata Mansyur.
Kemudian H.G.J.L. Meyners, dalam tulisannya bertitel Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk 1863-1866, menyebutkan Demang Lehman sangat tenang jelang dieksekusi di tiang gantung.
“Tidak kehilangan kendali diri,” ucap Mansyur.
Perlahan, dari atas kapal Demang Lehman atau Solehmah melangkah ke darat. Wajahnya justru menunjukkan rasa bangga. Ia mengangkat kepalanya melewati kumpulan warga Martapura yang ada di sisi jalan menuju tiang gantung.
Bahkan pada versi lain dituliskan, pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini kagum dengan ketabahan Demang Lehman menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.
“Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa,” tegas Mansyur.
Senada dengan pernyataan Meyners yang menuliskan jika Demang Lehman menghadapi hukuman mati dengan sikap tenang dan mengagumkan.
Setelah meninggal jenazahnya tak disalatkan. Kemudian dimakamkan, setelah dibawa dari sebuah rumah sakit di Martapura.
Kendala lain, dalam Surat Kabar Sumatra Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, menuliskan tidak satupun dari penduduk Martapura yang mengklaim Demang Lehman sebagai keluarga.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena rasa ketakutan masyarakat saat itu.
Pun setelah eksekusi, demikian juga ditulis Meyners, tiada ada satupun keluarga yang menyaksikan. Termasuk yang menyambut jasad Demang Lehman.
Pada satu sumber dituliskan bahwa setelah selesai digantung dan wafat, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden.
Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
Sayang sumber ini meragukan sekalipun ada rujukan dari Berita Acara Vonis Demang Lehman. Saat ditelusuri tidak didapati pernyataan tentang masalah pemancungan ini.
“Kasus ini memang menjadi misteri karena dalam penelusuran penulis, baik dari catatan Berita Acara Vonis Demang Lehman maupun tulisan tulisan Meyners, tidak ada pernyataan apa pun tentang masalah pemotongan kepala ini,” tutur Mansyur.
Lantas, di mana Demang Lehman dimakamkan?
Kalau ditelaah kembali wasiat Demang Lehman sebelum dihukum gantung, kemungkinan besar Demang Lehman dimakamkan di wilayah Martapura dan sekitarnya.
Dalam wasiatnya, Demang Lehman mengatakan bahwa Demang Lehman jangan dilarang untuk meninggalkan Borneo (Kalimantan) selamanya meskipun dia harus mati, dihukum mati dengan cara digantung.
Hanya saja dalam penelusuran beberapa arsip kolonial, belum didapatkan data di mana sang syahidin dimakamkan. Karena sesuai data di awal, tiada ada satu keluarganya pun yang menyaksikan. Termasuk yang menyambut mayatnya.
Meyners, kata Mansyur, hanya menuliskan setelah meninggal dunia jenazahnya tanpa dikebumikan (disalatkan) kemudian dimakamkan setelah dibawa dari rumah sakit di Martapura.
Itu selaras dengan minimnya data keluarga dan keturunannya. Demang Lehman pada 1862-1863, dalam beberapa sumber Koran Belanda, tercatat memiliki putra bernama Gusti Djadin.
Hal ini terungkap ketika terjadi insiden serangan Mayor Koch ke wilayah Pajukungan dan Alai. Pada serangan tersebut kaki Gusti Djadin terluka.
Pada sumber lain tertulis bahwa Demang Lehman memiliki dua istri. Istri pertama belum ada sumber yang menuliskan namanya, sementara istri kedua bernama Ratuoe Atidja (Ratu Atidja).
Selain itu Demang Lehman juga memiliki mertua bernama Pembakkal Koenoer (Pambakal Kunur) yang berdomisili di wilayah wilayah Pajukungan dan Alai.
Karenanya belum ditemukan data apa pun mengenai pemakaman Demang Lehman sampai kini.
“Kasus ini memang menjadi misteri karena dalam penelusuran penulis, baik dari catatan Berita Acara Vonis Demang Lehman maupun tulisan tulisan Meyners, tidak ada pernyataan apa pun tentang masalah pemotongan kepala ini,” pungkasnya.
Belanda Pulangkan Keris Diponegoro, Tengkorak Demang Lehman Kapan?