bakabar.com, MARTAPURA – Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Kabupaten Banjar, Habib Ali Husien Al-Ayderus mengatakan untuk menjadi pendakwah ala NU minimal bisa membaca kitab kuning atau arab gundul.
Sebab ujarnya, untuk memahami keislaman yang murni mesti terlebih dulu memahami kesusastraan arab, dan itu terdapat pada kitab kuning.
“Bahasa terjemahan tidak dapat menggambarkan seratus persen sastra arab. Makanya ada ulama berpendapat, haram hukumnya membaca terjemahan Alquran jika tanpa disertai membaca Alquran itu sendiri,” ujar Habib Ali, saat memberi materi pada Pelatihan Dai dan Daiyah di Gedung PCNU Kabupaten Banjar, Martapura, Sabtu (28/5).
Ia menceritakan, pernah beberapa kali menemui ada penceramah yang tidak bisa membaca kitab kuning, hanya mengandalkan kitab arab melayu.
“Ada juga pernah saya temui, orang ini bilang bahwa bahwa puasa itu obatnya segala penyakit dan berdalil dengan ayat Alquran. Saya terkejut, kok saya belum pernah nemu,” ucap Habib Ali.
“Ternyata dia berdalil dengan surah Al-Baqarah ayat 184. Padahal ayat itu tentang kewajiban mengada puasa ketika sakit atau dalam perjalanan. Ini lah pentingnya bisa membaca kitab kuning, supaya mampu memahami teks dan konteksnya secara utuh,” sambungnya.
Cakap membaca kitab kuning adalah modal utama menjadi pendakwah. Selain modal utama tersebut, kata Habib, setidaknya ada 6 wawasan yang juga harus dimiliki oleh dai. Yakni, wawasan keislaman, sejarah, sastra arab, ilmu kemanusiaan, sains, serta problematika aktual yang tengah menjadi perbincangan publik.
Selain Habib Ali, tiga pemateri lainnya juga memberikan pembekalan, yakni KH Fadlan Asy’arie, Ustaz Muhammad HR, dan Ustaz Khairullah Zain. Total 50 peserta dari berbagai lulusan pondok pesantren itu khusuk mengikuti materi dari pagi hingga sore.
Dalam kesempatan itu, KH Fadlan Asy’arie menekankan agar dalam berdakwah mengutamakan nasihat yang baik bukan secara keras, sesuai firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 125: “Ajaklah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.”
“Hikmah artinya yang bermanfaat, dan nasihat yang baik artinya tidak menggibah atau menjelek-jelekan orang lain, karena dakwah itu bersifat umum, bukan menyerang ke individu,” kata Guru Fadlan.
Mantan Ketua MUI Banjar ini juga mengingatkan bahwa ilmu mesti dulu diamalkan untuk diri sendiri baru berdakwah mengajak orang lain, serta dengan niat ikhlas bukan didasari duniawi.
“Kalau sudah mengamalkan dan ikhlas lillahita’ala, pasti apa yang kita sampaikan itu berkesan di hati pendengar,” pesan Guru Fadlan.
Sementara, Ustaz Muhammad HR mengatakan berdakwah bukan pekerjaan yang mudah namun penuh tantangan dan risiko. Sebab tugasnya adalah menyadarkan orang yang belum sadar.
Ia mencotohkan seperti pelaku penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang jumlahnya mencapai jutaan. “Ini salah satu contoh target dakwah kita. Jadi dakwah itu tidak melulu harus di majelis atau di masjid-masjid, tapi juga harus turun langsung ke lapangan,” terangnya.
Sedangkan Ustaz Khairullah Zain memfokuskan materi pada strategi dakwah di media sosial, yang menurutnya sekarang ini sudah bertebaran ajaran yang melenceng dari Ahlussunnah wal Jamaah.
“Di era industri 4.0 saat ini sangat deras informasi di media sosial, di mana semua orang bisa menjadi penceramah secara instan. Kita tidak bisa menghentikannya, tapi kita harus ikut berperan di dalamnya. Ini lah tantangan yang harus dihadapi para pendai muda khususnya. Motode dakwah harus mengikuti perkembangan zaman,” kata Ustaz Khairullah Zain.