LIFESTYLE

Mencintai Karakter Fiksi dalam Fictophilia: Normal atau Gangguan Mental?

Kelakuan Kondo yang menikahi karakter fiksi disebut sebagai fictophilia, yakni ketika seseorang punya rasa cinta atau ketertarikan terhadap karakter fiktif

Featured-Image
Akihiko Kondo menikahi Hatsune Miku (Foto: dok. Net)

bakabar.com, JAKARTA - Bagaimana jadinya jika ada manusia yang menikahi karakter fiksi? Meski terdengar nyeleneh, itulah yang dilakukan Akihiko Kondo.

Pada 2018, pria asal Jepang tersebut mempersunting anime, Hatsune Miku. Dalihnya, karakter berambut panjang dengan warna biru itu menyelamatkannya dari tekanan akibat perundungan di tempat kerja.

Kondo bahkan mengaku dirinya sudah menjalin hubungan dengan Miku selama satu dekade. Layaknya pernikahan pada umumnya, janji suci Kondo dan Miku dilangsungkan dengan dana fantastis.

Tak tanggung-tanggung, biaya yang digelontorkan untuk acara pernikahan itu mencapai dua juta yen atau setara Rp228 juta. Namun, tidak ada satu pun keluarga Kondo yang menghadiri momen itu.

Kondo sadar betul Miku bukanlah sosok nyata yang eksis dalam realita. Namun, dia menegaskan, hal itu tidak mengubah perasaannya untuk sang karakter.

Fictophiliaa, Bukan Gangguan Mental

Kelakuan Kondo yang menikahi karakter fiksi disebut sebagai fictophilia. Ini adalah kondisi ketika seseorang punya rasa cinta atau ketertarikan terhadap karakter fiktif.

Fictophilia sendiri tidak terbatas pada perasaan romantis atau ketertarikan seksual. Sebab, rasa cinta yang dimaksud juga bisa menyerupai persahabatan.

Karhulahti dan Valisalo dalam Fictosexuality, Fictoromance, and Fictophilia: A Qualitative Study of Love and Desire for Fictional Characters (2021) menyebut fictophilia bukanlah kelainan mental.

Menurut penelitian tersebut, orang yang mencintai karakter fiktif sebenarnya bisa membedakan fiksi dan realitas. Namun, di satu sisi, kesadaran ini juga menyebabkan ketidaknyamanan.

Ketidaknyamanan itu dikarenakan mereka sadar karakter yang dicintai tersebut tidak benar-benar ada. Hal ini disebut sebagai fictophilic paradox.

Meski fictophilia tak termasuk kelainan mental, kondisi ini masih dibayang-bayangi stigma negatif dari sosial. Mereka yang mencintai karakter fiktif kerap dianggap aneh, abnormal, bahkan sampai dijauhi atau ditertawakan. 

Stigma demikian membuat orang yang memiliki fictophilia takut menceritakan kondisinya kepada orang lain. Sebab itulah, fictophilia lazimnya menjadi sebuah pengalaman yang sekadar dapat dinikmati seorang diri.

Berakar dari Rasa Kecewa

Hasil penelitian Karhulahti dan Valisalo menyebut sejumlah faktor yang membuat seseorang jatuh cinta pada karakter fiksi. Salah satunya, mereka memiliki karakter kepribadian dan fisik yang lebih superior ketimbang orang-orang sungguhan. 

Itu dikarenakan karakter fiksi kerap dirawikan punya ciri-ciri fisik yang menarik dan mampu melakukan hal-hal luar biasa. Di satu sisi, fakta bahwa karakter tersebut adalah rekaan belaka juga memberikan rasa aman.

Perasaan yang demikian muncul karena audiens tidak akan dikecewakan atau ditolak cintanya, sebagaimana mereka ditolak oleh manusia di kehidupan nyata.

Editor


Komentar
Banner
Banner